iklan

Jom..lepak di sini!!!.....

Ahad, 20 Januari 2013

Fitnah bagai mana hadapinya?...

Fitnah Selalu Terjadi, Fitnah merupakan komunikasi kepada satu orang atau lebih yang bertujuan untuk memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang dilakukan oleh pihak lain berdasarkan atas fakta palsu yang dapat memengaruhi penghormatan, wibawa, atau reputasi seseorang. Kata “fitnah” diserap dari bahasa Arab, dan pengertian aslinya adalah “cobaan” atau “ujian”. Hal terkait fitnah adalah pengumuman fakta yang bersifat pribadi kepada publik, yang muncul ketika seseorang mengungkapkan informasi yang bukan masalah umum, dan hal tersebut bersifat menyerang pribadi yang bersangkutan.. Berkaitan dengan hal itu, Allah berfirman: أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ (٢) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (٣) ”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS al-‘Ankabût, 29: 2-3) Kehidupan dunia secara keseluruhan, baik dan buruknya adalah fitnah atau ujian bagi manusia. Fitnah yang senantiasa menyertai manusia dalam hidupnya sampai akhir hayatnya. Tetapi sangat disayangkan sebagian besar umat manusia tidak mengetahui bahwa kehidupan di dunia ini fitnah. Sebagian yang lain mengetahui bahwa kehidupan di dunia ini fitnah tetapi kalah oleh dahsyatnya fitnah itu sendiri. Hanya sebagian kecil saja yang sadar bahwa kehidupan di dunia ini fitnah, kemudian mereka berhati-hati terhadap fitnah itu dan ketika lalai atau lupa kembali pada petunjuk Allah. Bagi orang beriman yang memahami hakikat kehidupan dunia, tetap belum aman terhadap fitnah, karena syetan selalu mengawasi mereka dan menggodanya sehingga orang beriman itu, lalai, jatuh dan terkena fitnah dunia dengan segala macamnya. Begitu juga para da’i yang selalu mengajak manusia untuk beribadah pada Allah belum aman dari fitnah. Syetan memiliki seribu satu macam cara untuk memfitnah dan menggoda para da’i sehingga mereka jatuh dan meninggalkan gelanggang dakwah kemudian memilih kehidupan dan profesi lain yang lebih santai, aman dan jauh dari dinamika dakwah. Dan begitu juga para pemimpin umat, muballigh, ustadz dan tokoh masyarakat belum aman dari fitnah. Fitnah akan menyerang siapa saja dari manusia selagi mereka hidup di dunia, ada yang berjatuhan terkena fitnah dan ada juga yang selamat dengan izin Allah. Di akhir zaman ini fitnah akan semakin dahsyat dan mengerikan. Rasulullah s.a.w. bersabda: بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا “Segeralah beramal sebelum datangnya fitnah seperti malam yang gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di pagi harinya. Dia menjual agamanya dengan ‘barang’ kenikmatan dunia.” (HR Muslim dari Abu Hurairah) Rasulullah s.a.w. selalu mengajarkan kepada umatnya agar berlindung kepada Allah dari berbagai macam fitnah yang membahayakan manusia. Di antara doa Rasulullah s.a.w. untuk membentengi fitnah tersebut yaitu: « إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ». “Jika kalian membaca tasyahhud, maka berlindunglah dari empat hal, yaitu berkata:”Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari azab Jahanam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian dan dari buruknya fitnah al-Masih ad-Dajjâl.”(HR Muslim dari Abu Hurairah) Makna Fitnah Ketika orang menyatakan: Fatana al-Ma’din, artinya logam itu dibakar untuk mengetahui kualitasnya, (QS al-‘Ankabût, 29: 2). Fatana Fulânan, artinya si Fulan itu disiksa agar berubah dari sikap atau pendiriannya, (QS QS al-Burûj, 85: 10).Fatanahul Mâl dan Fatanathul Mar’ah, artinya tergoda dengan harta dan wanita, (QS al-Anfâl, 8: 28). Fatana Fulânan ’an Syai’i, artinya melalaikan atau memalingkan dari sesuatu, (QS al-Mâidah, 5: 49). Iftatana bil Amri, artinya terkena fitnah dengan sesuatu seperti harta, wanita dan lainnya. Jadi sesuai dengan ungkapan di atas, fitnah menurut para ahli bahasa bermakna ujian atau cobaan dalam berbagai macam bentuknya. Ada ujian yang buruk seperti siksaan, kesusahan, penderitaan, penyakit dan sebagainya. Ada ujian dalam bentuk kebaikan seperti harta, wanita, kedudukan, popularitas dan sebagainya. Fitnah juga bermakna kegagalan dari sebuah ujian dan berakibat pada keburukan, seperti syirik, kejahatan, kemungkaran, kerusakan, perselisihan, saling bunuh, dan sebagainya. Gambaran Fitnah dalam al-Quran Al-Quran banyak sekali mengungkapkan kata fitnah dengan berbagai macam maknanya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya: الم (١) أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ (٢) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (٣) ”Alif lâm mîm. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS al-‘Ankabût, 29: 1-3) Manusia dalam menyikapi ajaran para nabi dan rasul ada dua sikap. Pertama, orang-orang yang mengimani ajarannya, merekalah orang-orang yang beriman. Dan kedua, orang orang-orang yang mengingkari ajarannya, mereka termasuk kelompok orang-orang kafir. Ketika manusia menyatakan keimanannya, maka mereka akan diuji untuk membuktikan bahwa pernyataan itu benar atau salah. Karena keimanan bukan hanya kata-kata yang diungkapkan, tetapi keimanan adalah hakikat yang mengandung resiko dan tanggungjawab, keseriusan yang membutuhkan ketabahan, jihad yang membutuhkan kesabaran. Oleh karena itu tidak cukup manusia menyatakan beriman sebelum mendapatkan ujian, cobaan dan tantangan. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka semakin besar juga ujian dan cobaannya. Para nabi adalah orang yang paling besar ujian dan cobaannya kemudian yang sejenisnya dan seterusnya sesuai kadar keimanan seseorang. Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w., ketika menjawab pertanyaan para sahabatnya: أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً ؟ قَالَ : الأَنْبِيَاءُ ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ ، يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ ، فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صُلْبًا ، اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ، ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ ، حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ ، وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ. “Siapa manusia yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab; “Para Nabi, lalu orang-orang shaleh, kemudian orang yang paling mulia dan yang paling mulia dari manusia. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar agamanya, jika agamanya kuat maka akan ditambah ujiannya, dan jika agamanya lemah maka akan diringankan ujiannya. Tidaklah ujian itu berhenti pada seorang hamba sampai dia berjalan di muka bumi tanpa mempunyai dosa.” (HR Bukhari, Ahmad dan At-Tirmidzi Sa’ad bin Abi Waqqash). Demikian orang-orang yang menyatakan beriman akan mendapatkan ujian dan cobaan di dunia, sedangkan orang kafir juga akan mendapatkan ujian dan cobaan. Orang beriman mendapatkan ujian awal di dunia berupa penderitaan, cobaan, ujian, kesusahan, fitnah dll untuk kemudian mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan akhir di akhirat. Sedangkan orang-orang kafir bersenang-senang dan berfoya-foya di awal hidupnya di dunia untuk kemudian mendapatkan ujian dan siksaan di akhirat. Jadi kedua golongan itu mendapatkan kesusahan, fitnah dan ujian, orang beriman di dunia dan orang kafir di akhirat. Seseorang bertanya pada imam asy-Syafi’i, dan berkata:” Wahai Aba Abdillah, mana yang lebih utama bagi seorang lelaki, mendapatkan kedudukan atau mendapat ujian?” Berkata imam asy-Syafi’i:” Seseorang tidak mungkin akan mendapat kedudukan sehingga mendapat ujian. Karena sesungguhnya Allah telah menguji Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as, dan Muhammad saw. Ketika mereka sabar, maka Allah berikan kemuliaan kepada mereka. Maka jangan menyangka seorang beriman bebas dari ujian kesusahan. Allah SWT berfirman: وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS al-Baqarah, 2: 155) Gambaran Fitnah Dalam Hadits Hampir di setiap kitab hadits memuat bab tentang Fitnah. Imam Bukhari, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah membuat judul dalam kitab haditsnya Kitabul Fitan, Abu Dawud dan Al-Hakim menyebutnya dengan judul Kitâb al-Fitan wa al-Malâhim(Bab Fitnah dan Huru-Hara), sedangkan imam Muslim menyebutnya Kitab al-Fitan wa ’Asyrât as-Sâ’ah (bab fitnah dan tanda-tanda hari kiamat). Di antara hadits-hadits yang disebutkan dalam shahih Bukhari tentang fitnah dapat disebutkan: Imam Bukhari mengawali hadits Fitnah dengan menyebut QS al-Anfâl, 8: 25, agar orang beriman hati-hati terhadap fitnah dan menjauhinya. Fitnah semakin hari semakin berat dan semakin buruk. Harta yang paling bersih di akhir zaman bagi muslim adalah domba yang digembalakan di hutan dekat gunung dan air hujan. Di antara fitnah di akhir zaman, diangkatnya ilmu, dominannya kebodohan dan banyaknya pembunuhan. Umat Islam harus bersabar pada pemimpin jamaah Islam walaupun benci asal tidak menyuruh kepada kemungkaran dan kekafiran. Cara yang baik untuk selamat dari fitnah yaitu komitmen dengan jamaah Islam. Di masa fitnah dilarang memegang senjata yang membahayakan umat Islam. Tokoh sahabat yang paling menguasai masalah fitnah adalah Hudzaifah bin Al-Yaman. Beliau banyak bertanya tentang keburukan daripada kebaikan. Hal ini dilakukan agar orang-orang beriman terhindar dari fitnah dan keburukannya. Redaksi lengkap hadits tersebut adalah: كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْخَيْرِ ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ ، مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ ، فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قُلْتُ : وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ ، قَالَ : نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ ، قُلْتُ : وَمَا دَخَنُهُ ؟ قَالَ : قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي ، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ ، قُلْتُ : فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا ، قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا ، فَقَالَ : هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا ، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا ، قُلْتُ : فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ ؟ قَالَ : تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ ، قُلْتُ : فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ ؟ قَالَ : فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا ، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ ، حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ. “Manusia biasa bertanya pada Rasulullah s.a.w. tentang kebaikan, sedang aku bertanya kepada beliau tentang kejahatan, karena khawatir akan mengenaiku”. Saya berkata: “Wahai Rasulullah s.a.w. apakah kami dahulu di masa Jahiliyah dan penuh kejahatan, kemudian Allah mendatangkan dengan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini ada lagi keburukan”. Rasulullah s.a.w. menjawab:”Ya”. Apakah setelah keburukan itu ada kebaikan”. Rasulullah s.a.w. menjawab:”Ya, tetapi ada polusinya”. “Apa polusinya?” Rasulullah s.a.w. pun menjawab:” Kaum yang mengambil hidayah dengan hidayah yang bukan dariku, engkau kenali dan engkau ingkari”. Saya berkata:” Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan?” Rasulullah s.a.w. pun menjawab:” Ya, para penyeru ke neraka jahanam, barangsiapa yang menyambut mereka ke neraka maka mereka melemparkannya ke dalam neraka”. Saya berkata:” Ya Rasulullah s.a.w., terangkan ciri mereka pada kami?” Rasulullah s.a.w. pun menjawab:” (kulit) mereka sama dengan kulit kita, berbicara sesuai bahasa kita”. Saya berkata:” Apa yang engkau perintahkan padaku jika aku menjumpai hal itu?” Rasulullah s.a.w. pun bersabda:” Komitmen dengan jamaah muslimin dan imamnya”. Saya berkata:” Jika tidak ada pada mereka jamaah dan imam?” Rasulullah s.a.w. pun menjawab:” tinggalkan semua firqah itu, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai menjumpai kematian dan engkau tetap dalam kondisi tersebut” (HR Bukhari dan Muslim dari Hudzaifah bin al-Yaman)) Hadits lain yang berbicara tentang fitnah yang diriwayatkan Hudzaifah adalah, saat itu kami bersama Umar bin Khathab, beliau berkata: كُنَّا عِنْدَ عُمَرَ فَقَالَ أَيُّكُمْ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ الْفِتَنَ فَقَالَ قَوْمٌ نَحْنُ سَمِعْنَاهُ فَقَالَ لَعَلَّكُمْ تَعْنُونَ فِتْنَةَ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَجَارِهِ قَالُوا أَجَلْ قَالَ تِلْكَ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ وَلَكِنْ أَيُّكُمْ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ الْفِتَنَ الَّتِي تَمُوجُ مَوْجَ الْبَحْرِ قَالَ حُذَيْفَةُ فَأَسْكَتَ الْقَوْمُ فَقُلْتُ أَنَا قَالَ أَنْتَ لِلَّهِ أَبُوكَ قَالَ حُذَيْفَةُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلَا تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتْ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ قَالَ حُذَيْفَةُ وَحَدَّثْتُهُ أَنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا بَابًا مُغْلَقًا يُوشِكُ أَنْ يُكْسَرَ قَالَ عُمَرُ أَكَسْرًا لَا أَبَا لَكَ فَلَوْ أَنَّهُ فُتِحَ لَعَلَّهُ كَانَ يُعَادُ قُلْتُ لَا بَلْ يُكْسَرُ وَحَدَّثْتُهُ أَنَّ ذَلِكَ الْبَابَ رَجُلٌ يُقْتَلُ أَوْ يَمُوتُ حَدِيثًا لَيْسَ بِالْأَغَالِيطِ قَالَ أَبُو خَالِدٍ فَقُلْتُ لِسَعْدٍ يَا أَبَا مَالِكٍ مَا أَسْوَدُ مُرْبَادًّا قَالَ شِدَّةُ الْبَيَاضِ فِي سَوَادٍ قَالَ قُلْتُ فَمَا الْكُوزُ مُجَخِّيًا قَالَ مَنْكُوسًا و حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ الْفَزَارِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو مَالِكٍ الْأَشْجَعِيُّ عَنْ رِبْعِيٍّ قَالَ لَمَّا قَدِمَ حُذَيْفَةُ مِنْ عِنْدِ عُمَرَ جَلَسَ فَحَدَّثَنَا فَقَالَ إِنَّ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَمْسِ لَمَّا جَلَسْتُ إِلَيْهِ سَأَلَ أَصْحَابَهُ أَيُّكُمْ يَحْفَظُ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْفِتَنِ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي خَالِدٍ وَلَمْ يَذْكُرْ تَفْسِيرَ أَبِي مَالِكٍ لِقَوْلِهِ مُرْبَادًّا مُجَخِّيًا و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَعَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ وَعُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ الْعَمِّيُّ قَالُوا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ نُعَيْمِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّ عُمَرَ قَالَ مَنْ يُحَدِّثُنَا أَوْ قَالَ أَيُّكُمْ يُحَدِّثُنَا وَفِيهِمْ حُذَيْفَةُ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْفِتْنَةِ قَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا وَسَاقَ الْحَدِيثَ كَنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي مَالِكٍ عَنْ رِبْعِيٍّ وَقَالَ فِي الْحَدِيثِ قَالَ حُذَيْفَةُ حَدَّثْتُهُ حَدِيثًا لَيْسَ بِالْأَغَالِيطِ وَقَالَ يَعْنِي أَنَّهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Umar pernah bertanya kepadaku ketika aku bersamanya, ‘siapakah di antara kamu yang pernah mendengar Rasulullah s.a.w. meriwayatkan tentang fitnah (ujian)?’ Para sahabat menjawab, ‘Kami pernah mendengarnya! ‘Umar bertanya, ‘Apakah kamu bermaksud fitnah seorang lelaki bersama keluarga dan tetangganya? ‘ Mereka menjawab, ‘Ya, benar.’ Umar lalu berkata, ‘Fitnah tersebut bisa dihapuskan oleh shalat, puasa, dan zakat. Tetapi, siapakah di antara kamu yang pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang fitnah yang bergelombang sebagaimana gelombangnya lautan? ‘ Hudzaifah berkata, ‘Para Sahabat terdiam.’ Kemudian Hudzaifah berkata, ‘Aku, wahai Umar! ‘ Umar berkata, ‘Kamu! Ayahmu sebagai tebusan bagi Allah.’ Hudzaifah berkata, “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Fitnah akan dipaparkan pada hati manusia bagai tikar yang dipaparkan perutas (secara tegak menyilang antara satu sama lain). Mana pun hati yang dihinggapi oleh fitnah, niscaya akan terlekat padanya bintik-bintik hitam. Begitu juga mana pun hati yang tidak dihinggapinya, maka akan terlekat padanya bintik-bintik putih sehingga hati tersebut terbagi dua: sebagian menjadi putih bagaikan batu licin yang tidak lagi terkena bahaya fitnah, selama langit dan bumi masih ada. Sedangkan sebagian yang lain menjadi hitam keabu-abuan seperti bekas tembaga berkarat, tidak menyuruh kebaikan dan tidak pula melarang kemungkaran kecuali sesuatu yang diserap oleh hawa nafsunya.” Hudzaifah berkata, “Dan aku menceritakannya bahwa antara kamu dan fitnah tersebut ada pintu penghalang yang tertutup yang hampir pecah.” Umar berkata, “Apakah telah dibelah dengan suatu belahan, kamu tidak memiliki bapak (maksudnya kamu perlu bekerja keras), sekiranya benar pasti akan dikembalikan lagi (tertutup).” Aku berkata, “Tidak, bahkan dibelah.” Dan aku menceritakan bahwa pintu itu adalah seorang laki-laki yang dibunuh atau meninggal (maksudnya pintu fitnah dibuka setelah meninggalnya Umar, ed.), aku menceritakan sebuah hadits bukan dari (mengutip) kitab yang tebal (perjanjian baru dan lama).” Abu Khalid berkata, aku berkata kepada Sa’ad, “Wahai Abu Malik, “Apa maksud hitam keabu-abuan?” Sa’ad menjawab, “Maksudnya sangat putih dalam hitam.” Dia berkata, “Aku berkata, ‘Maka maksud al-Kuz Mujakhkhiya’. Dia menjawab, ‘Maksudnya bengkok’.” Dan telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Umar telah menceritakan kepada kami Marwan al-Fazari telah menceritakan kepada kami Abu Malik al-Asyja’i dari Rib’i dia berkata, ketika Hudzaifah datang dari sisi Umar, ia kemudian duduk seraya menceritakan kepada kami, “Sungguh, saat aku duduk di sisinya, Amirul Mukminin bertanya kepada para sahabatnya, ‘Siapakah di antara kalian yang menghafal sabda Rasulullah tentang fitnah? Lalu dia membawakan hadits dengan semisal hadits Abu Khalid, dan tidak menyebutkan tafsir Abu Malik tentang makna murbad mujakhkhiya.” Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna dan Amru bin Ali serta ‘Uqbah bin Mukram al-Ammi mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Adi dari Sulaiman at-Taimi dari Nu’aim bin Abu Hind dari Rib’i bin Hirasy dari Hudzaifah bahwa Umar berkata, “Siapa yang bisa menceritakan kepada kami, atau siapakah di antara kalian yang bisa menceritakan kepada kami -Sedangkan di antara mereka ada Hudzaifah- tentang yang disabdakan Rasulullah s.a.w. dalam fitnah?’ Hudzaifah menjawab, ‘Saya bisa.’ Lalu dia membawakan hadits seperti hadits Abu Malik dari Rib’i.” Perawi berkata, “Kemudian ia menyebutkan dalam haditnya, ‘Hudzaifah berkata, ‘Aku telah menceritakan sebuah hadits bukan dari nukilan kitab tebal, dan dia berkata, yaitu dari Rasulullah s.a.w..” (HR Bukhari dan Muslim) Fitnah anak, isteri, tetangga dan lain-lain berupa mencintai mereka secara berlebihan, kurang ketaatannya kepada Allah akibat kesibukan dengan mereka, munculnya sikap kikir akibat kecintaan tersebut. Fitnah anak istri dapat juga berupa melalaikan hak-hak anak dan istri seperti mendidik mereka, begitu juga terkait dengan fitnah tetangga. Dan fitnah ini sebagaimana disebutkan dalam hadits terhapus dengan ibadah shalat, puasa dan sedekah. Fitnah ini banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, di antaranya: إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS at-Taghâbun, 64: 15). Rasulullah s.a.w. bersabda: مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ ”Tidaklah aku tinggalkan fitnah yang lebih besar bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid). Dikatakan oleh ulama bahwa fitnah anak ada satu dan fitnah wanita ada dua. Fitnah wanita ada dua yaitu, pertama; wanita menyuruh suaminya untuk memutus hubungan silaturahim pada ibu dan saudara-saudara suaminya. Kedua; menyuruh suaminya untuk mencari harta yang halal atau haram. Sedangkan fitnah anak hanya satu yaitu membuat bapaknya mencari harta yang halal atau haram. Dan fitnah lain yang disebut Hudzaifah adalah fitnah yang besar seperti gelombang lautan yang dapat menghanyutkan siapa saja yang ada di lautan kehidupan. Dalam hadits lain fitnah ini dapat menyebabkan seorang yang paginya muslim sorenya menjadi kafir, atau sorenya muslim, paginya menjadi kafir, mereka menjual agama dengan harta yang sedikit. Di antara fitnah yang sangat besar adalah fitnah yang muncul dari para pemuka agama, alim ulama, kyai dan para da’i, jika mereka sudah terkena fitnah dunia, maka mereka menjual agamanya dengan harta dunia, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ulama seperti ini dalam terminologi Islam disebut Ulama Suu (ulama jahat). Ciri khas mereka yang utama adalah lebih mencintai dan mengutamakan dunia. Akibatnya mereka tidak dapat berkata benar dalam mengeluarkan pernyataan dan fatwanya, karena hukum Allah senantiasa bertentangan dan bertolak belakang dengan syahwat manusia dan kecintaan mereka terhadap dunia, seperti kecintaan pada harta, kekuasaan, wanita dll. Rasulullah s.a.w. bersabda: أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ عِلْمُهُ ”Orang yang paling keras azabnya di hari kiamat adalah ‘alim, yang Allah tidak memberi manfaat pada ilmunya” (HR At-Thabrani dan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah). Sementara itu, Umar bin al-Khaththab r.a. berkomentar:”Yang paling aku takuti pada umat ini adalah orang jahat yang pandai berkata (ilmunya tidak sampai pada hatinya)”. Sedang Ali bin Abi Thalib r.a. berkata:” Yang paling menjengkelkanku adalah dua orang, orang berilmu tapi jahat, orang bodoh tapi rajin ibadah. Yang pertama membuat jauh manusia karena kejahatannya, dan yang kedua menipu manusia karena ibadahnya.” Ulama Sû (Jahat) akan senantiasa melakukan bid’ah untuk membenarkan kejahatannya. Maka terkumpulah pada mereka sifat buruk, mengikuti hawa nafsu yang mematikan mata hatinya, sehingga tidak dapat membedakan antara yang hak dan batil, bahkan memutarbalikkan antara yang hak dengan batil, sehingga melihat yang hak itu batil dan yang batil itu hak. Demikianlah kejahatan ulama jika sudah lebih mencintai dunia, syahwat dan hawa nafsu dari akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam QS al-A’râf, 7: 175,176. Macam-Macam Fitnah Sebagaimana uraian di atas, maka secara umum fitnah terbagi menjadi dua, yaitu fitnah kebaikan dan fitnah keburukan. Allah SWT berfirman: كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (QS al-Anbiyâ’, 21: 35). Fitnah kebaikan biasa disebut juga dengan fitnah dunia dan bermuara pada tiga hal yaitu harta, tahta dan wanita. Nabi s.a.w. bersabda: إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ ”Sesungguhnya dunia itu manis dan lezat, dan sesungguhnya Allah menitipkannya padamu, kemudian melihat bagaimana kamu menggunakannya. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani Israil disebabkan wanita” (HR Muslim dari Abu Sa’id al-Khudriy) Harta dengan segala macamnya pada dasarnya adalah kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Dan manusia harus menjadikannya sebagai sarana ibadah dalam hidupnya. Manusia yang mestinya menjadikan harta sebagai sarana tetapi mereka menjadikannya tujuan hidup bahkan banyak yang menghambakan hidupnya pada harta. Sehingga celakalah mereka, harta berubah menjadi fitnah dan bencana yang merugikan dirinya di dunia maupun akhirat. Dan bagian fitnah yang harus diwaspadai para da’i dan pemimpin umat terkait dengan kebaikan adalah popularitas, sanjungan, pujian, penampilan, kecantikan, pengikut yang banyak, kemenangan dan sejenisnya. Imam Ahmad bin Hambal setelah terbebas dan penyiksaan yang berat dan dikeluarkan dari penjara, beliau mendapatkan simpati dan sambutan yang luar biasa dari pengikutnya. Mereka berdatangan untuk belajar, bertanya dan berguru pada Imam Ahmad. Melihat sambutan yang luar biasa dari pengikutnya, imam Ahmad menangis dan sangat khawatir kalau ini adalah istidrâj (fitnah yang sengaja dibiarkan oleh Allah untuk dinikmati) yang akan menjatuhkan beliau dari sikap istiqamah. Sedangkan fitnah keburukan, seperti siksaan sampai ke tingkat pembunuhan, pengusiran, pemenjaraan, pemboikotan, kemiskinan, penyakit dll. Demikianlah fitnah terjadi silih berganti yang terjadi pada para nabi dan orang-orang beriman, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” (QS al-Baqarah, 2: 214) Dalam konteks pemikiran dan gerakan, muncul beragam fitnah dan syubhat di bidang gerakan pemikiran sesat dan bid’ah yang menjamur di tengah masyarakat muslim, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal), Ahmadiyah, Baha’iyah, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), Isa Bugis, Syiah dll. Fitnah ini muncul karena lemahnya umat Islam terhadap ajaran Islam. Dan jatuhlah mereka pada pemahaman yang salah dan menyimpang terhadap Islam. Tingkat penyimpangan gerakan pemikiran berbeda satu sama lain, ada yang sudah sesat dan keluar dari ajaran Islam, seperti Ahmadiyah, tetapi ada juga yang masih dapat diajak dialog tentang keislaman. Dan fitnah yang terbesar dan terberat yang dihadapi oleh orang-orang beriman adalah fitnah menyebarnya kemusyrikan, kekafiran, kemungkaran, perselisihan dan perang antara sesama orang beriman. Fitnah yang pertama muncul setelah wafatnya Rasul s.a.w., menyebarnya kemurtadan dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Dan Abu bakar As-Siddiq berhasil memeranginya. Fitnah pembunuhan terhadap Khulafaur Rasyidin, Umar, Utsman dan Ali semoga Allah meridhai semuanya. Fitnah antara imam Ali RA dengan Siti Aisyah RA dalam perang Jamal, antara Ali RA dengan Muawiyah RA dalam perang Shiffin. Dan para ulama menyebutnya dengan istilah Fitnah Qubra. Sikap Para Da’i terhadap Fitnah Segala macam fitnah harus disikapi dengan bijak oleh para da’i sesuai dengan bentuk dan kadar fitnahnya. Ketika para da’i berhasil mengatasi fitnah yang terjadi di dunia, maka dia akan sukses dan mendapatkan ganjaran yang besar dari sisi Allah. Sikap pertama yang harus dilakukan oleh para da’i untuk menghadapi fitnah adalah hati-hati dan waspada (hadzr). Setiap da’i apapun yang terjadi, baik dan buruknya, senantiasa dalam kondisi diuji. Kemudian untuk menyikapi segala macam fitnah keburukan para da’i harus bersabar, bersabar tidak terlibat dalam keburukan dan bersabar atas segala musibah yang buruk. Dan menyikapi segala bentuk kemudahan para da’i harus bersyukur. Rasulullah s.a.w. bersabda: «عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ». ”Sungguh menakjubkan urusan orang beriman, segala urusannya baik dan itu tidak terjadi kecuali orang beriman. Jika diuji kemudahan, dia bersyukur maka itu baik untuk orang beriman. Dan jika diuji kesusahan maka dia bersabar, dan itu baik untuk orang beriman” (HR Muslim dari Shuhaib) Selanjutnya dalam menyikapi berbagai macam huru hara, perselisihan dan fitnah antara sesama muslim, maka sikap para da’i harus tetap komitmen pada jamaah Islam dan tetap taat pada pemimpin selagi tidak menyuruh pada kemungkaran dan kekafiran. Fitnah terkait dengan kebatilan dan pemikiran yang sesat harus dihadapi dengan dakwah dan argumentasi yang kuat sehingga terlihat jelas antara kebenaran dan kebatilan. Ulama dan para da’i harus menjelaskan kepada umat antara yang hak dengan yang batil agar mereka tidak menjadi bingung dan tidak tersesat. Rasulullah s.a.w. bersabda: «أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ». “Sebaik-baiknya jihad adalah perkataan yang benar pada penguasa yang lalim” (HR Ahmad dari Thariq bin Syihab). Pada masa kekhalifahan imam Ali RA. Banyak kaum yang keluar dari jamaahnya dan disebut kelompok Khawarij. Lalu imam Ali RA. Mengirim Ibnu Abbas RA kepada mereka untuk berdialog seputar agama dan pemahaman Islam, maka banyak sekali di antara mereka yang sadar dan kembali pada ajaran yang benar. Begitu juga terhadap kelompok yang mengkultuskan dirinya dari kalangan Syiah, maka imam Ali RA senantiasa mengarahkan pada pemahaman yang benar dan menolak segala macam pengkultusan. Sedangkan untuk menyikapi fitnah kekafiran dan kemusyrikan, maka umat Islam harus berjihad melawannya. Allah SWT berfirman: وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلّه فَإِنِ انتَهَوْاْ فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ”Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan” (QS al-Anfâl, 8: 39). Seluruh bentuk fitnah harus dilawan dengan startegi yang tepat oleh umat Islam, sehingga Islam (baca: umat Islam) menjadi Syuhadâ’ ‘Alâ an-Nâs (‘yang memimpin’) di muka bumi ini.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan