iklan

Jom..lepak di sini!!!.....

Ahad, 20 Januari 2013

Puisi

Sayap-Sayap Patah Hati yang terjatuh dan terluka Merobek malam menoreh seribu duka Kukepakkan sayap-sayap patahku Mengikuti hembusan angin yang berlalu Menancapkan rindu…. Disudut hati yang beku… Dia retak, hancur bagai serpihan cermin Berserakan …. Sebelum hilang di terpa angin… Sambil terduduk lemah…. Ku coba kembali mengais sisa hati Bercampur baur dengan debu Ingin ku rengkuh… Ku gapai kepingan di sudut hati… Hanya bayangan yang ku dapat…. Ia menghilang saat mentari turun dari peraduannya Tak sanggup ku kepakkan kembali sayap ini Ia telah patah.. Tertusuk duri-duri yang tajam…. Hanya bisa meratap…. Meringis.. Mencoba menggapai sebuah pegangan.. " sisfacemuslim"

Cinta sejati atau cinta buta

Saat kamu merasakan cinta sejati, kamu menyayangi seseorang se adanya, memahami kekurangannya dan menutupi kelemahannya sambil melihat. Saat kamu cinta buta dengan seseorang, kamu menganggap dia begitu sempurna hingga menutupi seluruh kekurangan yang ada pada dirinya. Hmmmmm… Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya perbedaan antara Cinta Buta dan Cinta Sejati itu mudah sangat? Saat kamu mencintai seseorang begitu dalam kemungkinan besar kamu akan mencoba memahami kekurangannya. Di saat itu.. apakah kamu mencintainya secara buta atau memang hanya mencintai dia seadanya? Saat dia melakukan kesalahan dan kamu memaafkannya, karena namanya manusia memang tak pernah lepas dari kesalahan, apakah itu berarti mencintainya secara buta atau mencintai apa adanya? Saat hadir seseorang yang lebih baik darinya, namun tak juga kamu berpaling dari sang kekasih apakah itu berarti mencintai apa adanya atau mencintai secara buta? Atau saat kamu menganggapnya begitu sempurna sehingga tak ada yang mampu menggantikan kehadirannya, apakah itu berarti mencintai apa adanya atau mencintai secara buta? Sampai sejauh mana kita bisa mencintai apa adanya tanpa harus membutakan mata? Apakah mungkin seseorang mencintai apa adanya tanpa menjadi buta? Ataukah mencintai secara buta berarti juga mencintai apa adanya?

Jiwa yang terluka

Kesedihan dan lara tiba tiba menggunjang jiwa Kepergiannya membuat raga seolah tak bernyawa Ada ada gerangan dengan jiwa.. Hidupnya hampa tanpa kekasih yang selalu dipuja.. Ego yang ada terkadang membuat raga meronta. Mengkesampingkan perasaan jiwa yang tengah terluka Membiarkan raga mendominasi dirinya Tanpa memperdulikan kesedihan dan luka Kini raga mulai meratap luka Tak kuasa menahan gejolak yang ada didalam jiwa Hasrat itu tak bisa ditolak raga Menghilangkan ego yang selama ini menutupinya Tuhan….salahkan perasaan ini Perasaan jiwa akan cinta yang abadi Cinta suci yang bersemayam didalam hati Tak pernah tergantikan ato ternoda akan ego didalam diri Tuhan….salahkah jiwa memohon cinta sejatinya Mengembalikannya ke dalan dekapan hatinya Memintanya tuk selalu ada Menjadikan pendamping bagi jiwa dan raga Mungkin raga telah ternoda akan dunia Tp jiwa tak kan pernah menggantikan cinta sejatinya Tetap berharap cinta itu akan bersamanya Menghabiskan senja sampai akhir masa For some one I love ^_^ciuman kupu-kupu dari sis

Jika kita mencintai seseorang

jika kita mencintai seseorang, kita akan senantiasa mendo’akannya walaupun dia tidak berada disisi kita. Tuhan memberikan kita dua kaki untuk berjalan, dua tangan untuk memegang, dua telinga untuk mendengar dan dua mata untuk melihat. Tetapi mengapa Tuhan hanya menganugerahkan sekeping hati pada kita ? Karena Tuhan telah memberikan sekeping lagi hati pada seseorang untuk kita mencarinya. Itulah Cinta … Jangan sesekali mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba. Jangan sesekali menyerah jika kamu masih merasa sanggup. Jangan sesekali mengatakan kamu tidak mencintainya lagi, jika kamu masih tidak dapat melupakannya. Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan. Jangan simpan kata-kata cinta pada orang yang tersayang sehingga dia meninggal dunia lantaran akhirnya kamu terpaksa catatkan kata-kata cinta itu pada pusaranya. Sebaliknya ucapkan kata-kata cinta yang tersimpan dibenakmu itu sekarang selagi ada hayatnya. Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dan bercinta dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterimakasih atas karunia tersebut. Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat dan kemarahan menjadi rahmat. Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan kamu tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cintamu kepadanya. Seandainya kamu ingin mencintai atau memiliki hati seorang gadis, ibaratkanlah seperti menyunting sekuntum mawar merah. Kadangkala kamu mencium harum mawar tersebut, tetapi kadangkala kamu terasa bisa duri mawar itu menusuk jari. Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu, hanya untuk menemukan bahwa pada akhirnya menjadi tidak berarti dan kamu harus membiarkannya pergi. Kadangkala kamu tidak menghargai orang yang mencintai kamu sepenuh hati, sehingga kamu kehilangannya. Pada saat itu, tiada guna penyesalan karena perginya tanpa berkata lagi. Cintailah seseorang itu atas dasar siapa dia sekarang dan bukan siapa dia sebelumnya. Kisah silam tidak perlu diungkit lagi, kiranya kamu benar-benar mencintainya setulus hati. Hati-hati dengan cinta, karena cinta juga dapat membuat orang sehat menjadi sakit, orang gemuk menjadi kurus, orang normal menjadi gila, orang kaya menjadi miskin, raja menjadi budak, jika cintanya itu disambut oleh para pecinta PALSU. Kemungkinan apa yang kamu sayangi atau cintai tersimpan keburukan didalamnya dan kemungkinan apa yang kamu benci tersimpan kebaikan didalamnya. Cinta kepada harta artinya bakhil, cinta kepada perempuan artinya alam, cinta kepada diri artinya bijaksana, cinta kepada mati artinya hidup dan cinta kepada Tuhan artinya Takwa. Lemparkan seorang yang bahagia dalam bercinta kedalam laut, pasti ia akan membawa seekor ikan. Lemparkan pula seorang yang gagal dalam bercinta ke dalam gudang roti, pasti ia akan mati kelaparan. Seandainya kamu dapat berbicara dalam semua bahasa manusia dan alam, tetapi tidak mempunyai perasaan cinta dan kasih, dirimu tak ubah seperti gong yang bergaung atau sekedar canang yang gemericing. Cinta adalah keabadian … dan kenangan adalah hal terindah yang pernah dimiliki. Siapapun pandai menghayati cinta, tapi tak seorangpun pandai menilai cinta karena cinta bukanlah suatu objek yang bisa dilihat oleh kasat mata, sebaliknya cinta hanya dapat dirasakan melalui hati dan perasaan. Cinta mampu melunakkan besi, menghancurkan batu, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dahsyatnya cinta. Cinta sebenarnya adalah membiarkan orang yang kamu cintai menjadi dirinya sendiri dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kamu inginkan. Jika tidak, kamu hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kamu temukan didalam dirinya. Kamu tidak akan pernah tahu bila kamu akan jatuh cinta. Namun apabila sampai saatnya itu, raihlah dengan kedua tanganmu dan jangan biarkan dia pergi dengan sejuta rasa tanda tanya dihatinya. Cinta bukanlah kata murah dan lumrah dituturkan dari mulut kemulut tetapi cinta adalah anugerah Tuhan yang indah dan suci jika manusia dapat menilai kesuciannya. Bercinta memang mudah, untuk dicintai juga memang mudah. Tapi untuk dicintai oleh orang yang kita cintai itulah yang sukar diperoleh. Jika saja kehadiran cinta sekedar untuk mengecewakan, lebih baik cinta itu tak pernah hadir.

Perasaan

Banyak dari kita yang tak pernah jujur pada perkataan dengan perasaan yang ada di hatinya. Tidak lain tidak bukan hanya untuk menyembunyikan perasaan sebenarnya. Kadang kita takut menyatakan sesuatu yang bakal menyakiti seseorang. Tapi pernahkah kita berfikir sampai kapan itu akan berlangsung, dan itu hanya makin menyakiti orang yang ada disekeliling kita. Mengapa tidak mengatakan yang sesungguhnya? Tentang perasaan juga apapun yang dialami dan tidak disukai….awalnya menyakitkan, itu pasti!!! Tapi itu lebih baik dari pada kita harus terus menutupi perasaan yang tidak pernah sejalan dengan perkataan. Segala resiko memang harus kita terima setelahnya, karena setiap berhadapan dengan namanya ’keputusan’ kita juga berhadapan dengan risiko, risiko adalah kata yang selalu melekat pada setiap keputusan. Berusahalah untuk mengatakan yang sebenarnya, walaupun itu pahit. Terlebih lagi menyangkut tentang perasaan, jangan hanya diam dan menunggu, berharap semua keajaiban akan terjadi dan dia juga bisa mengerti. Sama dengan engkau membuat bendungan dan kemudian kau hancurkan kembali. Rasa sakit yang tak terkira yang akan menyerangmu dan mungkin juga orang yang kau kasihi. Soo jujurlah pada setiap perasaanmu, juga pada orang di sekelilingmu. Karena semua itu akan membuatmu menjadi lebih bijaksana dalam segala sesuatu.

Cinta sejati

‘Cinta Sejati’ terus dicari dan digali. Manusia dari zaman ke zaman seakan tidak pernah bosan membicarakannya. Sebenarnya? apa itu ‘Cinta Sejati’ dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya? Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Masyarakat di belahan bumi manapun saat ini sedang diusik oleh mitos ‘Cinta Sejati‘, dan dibuai oleh impian ‘Cinta Suci’. Karenanya, rame-rame, mereka mempersiapkan diri untuk merayakan hari cinta “Valentine’s Day”. Pada kesempatan ini, saya tidak ingin mengajak saudara menelusuri sejarah dan kronologi adanya peringatan ini. Dan tidak juga ingin membicarakan hukum mengikuti perayaan hari ini. Karena saya yakin, anda telah banyak mendengar dan membaca tentang itu semua. Hanya saja, saya ingin mengajak saudara untuk sedikit menyelami: apa itu cinta? Adakah cinta sejati dan cinta suci? Dan cinta model apa yang selama ini menghiasi hati anda? Seorang peneliti dari Researchers at National Autonomous University of Mexico mengungkapkan hasil risetnya yang begitu mengejutkan. Menurutnya: Sebuah hubungan cinta pasti akan menemui titik jenuh, bukan hanya karena faktor bosan semata, tapi karena kandungan zat kimia di otak yang mengaktifkan rasa cinta itu telah habis. Rasa tergila-gila dan cinta pada seseorang tidak akan bertahan lebih dari 4 tahun. Jika telah berumur 4 tahun, cinta sirna, dan yang tersisa hanya dorongan seks, bukan cinta yang murni lagi. Menurutnya, rasa tergila-gila muncul pada awal jatuh cinta disebabkan oleh aktivasi dan pengeluaran komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dan terpaan badai tanggung jawab dan dinamika kehidupan efek hormon-hormon itu berkurang lalu menghilang. (sumber: www.detik.com Rabu, 09/12/2009 17:45 WIB). Wah, gimana tuh nasib cinta yang selama ini anda dambakan dari pasangan anda? Dan bagaimana nasib cinta anda kepada pasangan anda? Jangan-jangan sudah lenyap dan terkubur jauh-jauh hari. Anda ingin sengsara karena tidak lagi merasakan indahnya cinta pasangan anda dan tidak lagi menikmati lembutnya buaian cinta kepadanya? Ataukah anda ingin tetap merasakan betapa indahnya cinta pasangan anda dan juga betapa bahagianya mencintai pasangan anda? Saudaraku, bila anda mencintai pasangan anda karena kecantikan atau ketampanannya, maka saat ini saya yakin anggapan bahwa ia adalah orang tercantik dan tertampan, telah luntur. Bila dahulu rasa cinta anda kepadanya tumbuh karena ia adalah orang yang kaya, maka saya yakin saat ini, kekayaannya tidak lagi spektakuler di mata anda. Bila rasa cinta anda bersemi karena ia adalah orang yang berkedudukan tinggi dan terpandang di masyarakat, maka saat ini kedudukan itu tidak lagi berkilau secerah yang dahulu menyilaukan pandangan anda. Saudaraku! bila anda terlanjur terbelenggu cinta kepada seseorang, padahal ia bukan suami atau istri anda, ada baiknya bila anda menguji kadar cinta anda. Kenalilah sejauh mana kesucian dan ketulusan cinta anda kepadanya. Coba anda duduk sejenak, membayangkan kekasih anda dalam keadaan ompong peyot, pakaiannya compang-camping sedang duduk di rumah gubuk yang reot. Akankah rasa cinta anda masih menggemuruh sedahsyat yang anda rasakan saat ini? Para ulama’ sejarah mengisahkan, pada suatu hari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu bepergian ke Syam untuk berniaga. Di tengah jalan, ia melihat seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi. Tanpa diduga dan dikira, panah asmara Laila melesat dan menghujam hati Abdurrahman bin Abi Bakarradhiallahu ‘anhu. Maka sejak hari itu, Abdurrahman radhiallahu ‘anhu mabok kepayang karenanya, tak kuasa menahan badai asmara kepada Laila bintu Al Judi. Sehingga Abdurrahman radhiallahu ‘anhu sering kali merangkaikan bair-bait syair, untuk mengungkapkan jeritan hatinya. Berikut di antara bait-bait syair yang pernah ia rangkai: Aku senantiasa teringat Laila yang berada di seberang negeri Samawah Duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku? Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita Paras wajahnya slalu membayangi mataku dan menghuni batinku. Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya, Semoga bersama kafilah haji, ia datang dan akupun bertemu. Karena begitu sering ia menyebut nama Laila, sampai-sampai Khalifah Umar bin Al Khattabradhiallahu ‘anhu merasa iba kepadanya. Sehingga tatkala beliau mengutus pasukan perang untuk menundukkan negeri Syam, ia berpesan kepada panglima perangnya: bila Laila bintu Al Judi termasuk salah satu tawanan perangmu (sehingga menjadi budak), maka berikanlah kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu. Dan subhanallah, taqdir Allah setelah kaum muslimin berhasil menguasai negeri Syam, didapatkan Laila termasuk salah satu tawanan perang. Maka impian Abdurrahmanpun segera terwujud. Mematuhi pesan Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu, maka Laila yang telah menjadi tawanan perangpun segera diberikan kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu. Anda bisa bayangkan, betapa girangnya Abdurrahman, pucuk cinta ulam tiba, impiannya benar-benar kesampaian. Begitu cintanya Abdurrahman radhiallahu ‘anhu kepada Laila, sampai-sampai ia melupakan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, maka istri-istrinya yang lainpun mengadukan perilaku Abdurrahman kepada ‘Aisyah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan saudari kandungnya. Menyikapi teguran saudarinya, Abdurrahman berkata: “Tidakkah engkau saksikan betapa indah giginya, yang bagaikan biji delima?” Akan tetapi tidak begitu lama Laila mengobati asmara Abdurrahman, ia ditimpa penyakit yang menyebabkan bibirnya “memble” (jatuh, sehingga giginya selalu nampak). Sejak itulah, cinta Abdurrahman luntur dan bahkan sirna. Bila dahulu ia sampai melupakan istri-istrinya yang lain, maka sekarang iapun bersikap ekstrim. Abdurrahman tidak lagi sudi memandang Laila dan selalu bersikap kasar kepadanya. Tak kuasa menerima perlakuan ini, Lailapun mengadukan sikap suaminya ini kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Mendapat pengaduan Laila ini, maka ‘Aisyahpun segera menegur saudaranya dengan berkata: يا عبد الرحمن لقد أحببت ليلى وأفرطت، وأبغضتها فأفرطت، فإما أن تنصفها، وإما أن تجهزها إلى أهلها، فجهزها إلى أهلها. “Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahmanpun memulangkan Laila kepada keluarganya. (Tarikh Damaskus oleh Ibnu ‘Asakir 35/34 & Tahzibul Kamal oleh Al Mizzi 16/559) Bagaimana saudaraku! Anda ingin merasakan betapa pahitnya nasib yang dialami oleh Laila bintu Al Judi? Ataukah anda mengimpikan nasib serupa dengan yang dialami oleh Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu?(1) Tidak heran bila nenek moyang anda telah mewanti-wanti anda agar senantiasa waspada dari kenyataan ini. Mereka mengungkapkan fakta ini dalam ungkapan yang cukup unik:Rumput tetangga terlihat lebih hijau dibanding rumput sendiri. Anda penasaran ingin tahu, mengapa kenyataan ini bisa terjadi? Temukan rahasianya pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini: الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ. رواه الترمذي وغيره “Wanita itu adalah aurat (harus ditutupi), bila ia ia keluar dari rumahnya, maka setan akan mengesankannya begitu cantik (di mata lelaki yang bukan mahramnya).” (Riwayat At Tirmizy dan lainnya) Orang-orang Arab mengungkapkan fenomena ini dengan berkata: كُلُّ مَمْنُوعٍ مَرْغُوبٌ Setiap yang terlarang itu menarik (memikat). Dahulu, tatkala hubungan antara anda dengannya terlarang dalam agama, maka setan berusaha sekuat tenaga untuk mengaburkan pandangan dan akal sehat anda, sehingga anda hanyut oleh badai asmara. Karena anda hanyut dalam badai asmara haram, maka mata anda menjadi buta dan telinga anda menjadi tuli, sehingga andapun bersemboyan:Cinta itu buta. Dalam pepatah arab dinyatakan: حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ Cintamu kepada sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli. Akan tetapi setelah hubungan antara anda berdua telah halal, maka spontan setan menyibak tabirnya, dan berbalik arah. Setan tidak lagi membentangkan tabir di mata anda, setan malah berusaha membendung badai asmara yang telah menggelora dalam jiwa anda. Saat itulah, anda mulai menemukan jati diri pasangan anda seperti apa adanya. Saat itu anda mulai menyadari bahwa hubungan dengan pasangan anda tidak hanya sebatas urusan paras wajah, kedudukan sosial, harta benda. Anda mulai menyadari bahwa hubungan suami-istri ternyata lebih luas dari sekedar paras wajah atau kedudukan dan harta kekayaan. Terlebih lagi, setan telah berbalik arah, dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan antara anda berdua dengan perceraian: فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ. البقرة 102 “Maka mereka mempelajari dari Harut dan Marut (nama dua setan) itu apa yang dengannya mereka dapat menceraikan (memisahkan) antara seorang (suami) dari istrinya.” (Qs. Al Baqarah: 102) Mungkin anda bertanya, lalu bagaimana saya harus bersikap? Bersikaplah sewajarnya dan senantiasa gunakan nalar sehat dan hati nurani anda. Dengan demikian, tabir asmara tidak menjadikan pandangan anda kabur dan anda tidak mudah hanyut oleh bualan dusta dan janji-janji palsu. Mungkin anda kembali bertanya: Bila demikian adanya, siapakah yang sebenarnya layak untuk mendapatkan cinta suci saya? Kepada siapakah saya harus menambatkan tali cinta saya? Simaklah jawabannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. متفق عليه “Biasanya, seorang wanita itu dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi wanita yang taat beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih) Dan pada hadits lain beliau bersabda: إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ. رواه الترمذي وغيره. “Bila ada seorang yang agama dan akhlaqnya telah engkau sukai, datang kepadamu melamar, maka terimalah lamarannya. Bila tidak, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan besar di muka bumi.” (Riwayat At Tirmizy dan lainnya) Cinta yang tumbuh karena iman, amal sholeh, dan akhlaq yang mulia, akan senantiasa bersemi. Tidak akan lekang karena sinar matahari, dan tidak pula luntur karena hujan, dan tidak akan putus walaupun ajal telah menjemput. الأَخِلاَّء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ. الزخرف 67 “Orang-orang yang (semasa di dunia) saling mencintai pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. Az Zukhruf: 67) Saudaraku! Cintailah kekasihmu karena iman, amal sholeh serta akhlaqnya, agar cintamu abadi. Tidakkah anda mendambakan cinta yang senantiasa menghiasi dirimu walaupun anda telah masuk ke dalam alam kubur dan kelak dibangkitkan di hari kiamat? Tidakkah anda mengharapkan agar kekasihmu senantiasa setia dan mencintaimu walaupun engkau telah tua renta dan bahkan telah menghuni liang lahat? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. متفق عليه “Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih) Saudaraku! hanya cinta yang bersemi karena iman dan akhlaq yang mulialah yang suci dan sejati. Cinta ini akan abadi, tak lekang diterpa angin atau sinar matahari, dan tidak pula luntur karena guyuran air hujan. Yahya bin Mu’az berkata: “Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu, dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar kepadamu.” Yang demikian itu karena cinta anda tumbuh bersemi karena adanya iman, amal sholeh dan akhlaq mulia, sehingga bila iman orang yang anda cintai tidak bertambah, maka cinta andapun tidak akan bertambah. Dan sebaliknya, bila iman orang yang anda cintai berkurang, maka cinta andapun turut berkurang. Anda cinta kepadanya bukan karena materi, pangkat kedudukan atau wajah yang rupawan, akan tetapi karena ia beriman dan berakhlaq mulia. Inilah cinta suci yang abadi saudaraku. Saudaraku! setelah anda membaca tulisan sederhana ini, perkenankan saya bertanya: Benarkah cinta anda suci? Benarkah cinta anda adalah cinta sejati? Buktikan saudaraku… Wallahu a’alam bisshowab, mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan atau menyinggung perasaan. ***sumbe bacaan dar ;iUstadz Muhammad Arifin Badri, M.A.

Makna cinta dalam islam

Kata pujangga cinta letaknya di hati. Meskipun tersembunyi, namun getarannya tampak sekali. Ia mampu mempengaruhi pikiran sekaligus mengendalikan tindakan. Sungguh, Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta (Jalaluddin Rumi). Namun hati-hati juga dengan cinta, karena cinta juga dapat membuat orang sehat menjadi sakit, orang gemuk menjadi kurus, orang normal menjadi gila, orang kaya menjadi miskin, raja menjadi budak, jika cintanya itu disambut oleh para pecinta palsu. Cinta yang tidak dilandasi kepada Allah. Itulah para pecinta dunia, harta dan wanita. Dia lupa akan cinta Allah, cinta yang begitu agung, cinta yang murni. Cinta Allah cinta yang tak bertepi. Jikalau sudah mendapatkan cinta-Nya, dan manisnya bercinta dengan Allah, tak ada lagi keluhan, tak ada lagi tubuh lesu, tak ada tatapan kuyu. Yang ada adalah tatapan optimis menghadapi segala cobaan, dan rintangan dalam hidup ini. Tubuh yang kuat dalam beribadah dan melangkah menggapai cita-cita tertinggi yakni syahid di jalan-Nya. Tak jarang orang mengaku mencintai Allah, dan sering orang mengatakan mencitai Rasulullah, tapi bagaimana mungkin semua itu diterima Allah tanpa ada bukti yang diberikan, sebagaimana seorang arjuna yang mengembara, menyebarangi lautan yang luas, dan mendaki puncak gunung yang tinggi demi mendapatkan cinta seorang wanita. Bagaimana mungkin menggapai cinta Allah, tapi dalam pikirannya selalu dibayang-bayangi oleh wanita/pria yang dicintai. Tak mungkin dalam satu hati dipenuhi oleh dua cinta. Salah satunya pasti menolak, kecuali cinta yang dilandasi oleh cinta pada-Nya. Di saat Allah menguji cintanya, dengan memisahkanya dari apa yang membuat dia lalai dalam mengingat Allah, sering orang tak bisa menerimanya. Di saat Allah memisahkan seorang gadis dari calon suaminya, tak jarang gadis itu langsung lemah dan terbaring sakit. Di saat seorang suami yang istrinya dipanggil menghadap Ilahi, sang suami pun tak punya gairah dalam hidup. Di saat harta yang dimiliki hangus terbakar, banyak orang yang hijrah kerumah sakit jiwa, semua ini adalah bentuk ujian dari Allah, karena Allah ingin melihat seberapa dalam cinta hamba-Nya pada-Nya. Allah menginginkan bukti, namun sering orang pun tak berdaya membuktikannya, justru sering berguguran cintanya pada Allah, disaat Allah menarik secuil nikmat yang dicurahkan-Nya. Itu semua adalah bentuk cinta palsu, dan cinta semu dari seorang makhluk terhadap Khaliknya. Padahal semuanya sudah diatur oleh Allah, rezki, maut, jodoh, dan langkah kita, itu semuanya sudah ada suratannya dari Allah, tinggal bagi kita mengupayakan untuk menjemputnya. Amat merugi manusia yang hanya dilelahkan oleh cinta dunia, mengejar cinta makhluk, memburu harta dengan segala cara, dan enggan menolong orang yang papah. Padahal nasib di akhirat nanti adalah ditentukan oleh dirinya ketika hidup didunia, Bersungguh-sungguh mencintai Allah, ataukah terlena oleh dunia yang fana ini. Jika cinta kepada selain Allah, melebihi cinta pada Allah, merupakan salah satu penyebab do’a tak terijabah. Bagaimana mungkin Allah mengabulkan permintaan seorang hamba yang merintih menengadah kepada Allah di malam hari, namun ketika siang muncul, dia pun melakukan maksiat. Bagaimana mungkin do’a seorang gadis ingin mendapatkan seorang laki-laki sholeh terkabulkan, sedang dirinya sendiri belum sholehah. Bagaimana mungkin do’a seorang hamba yang mendambakan rumah tangga sakinah, sedang dirinya masih diliputi oleh keegoisan sebagai pemimpin rumah tangga.. Bagaimana mungkin seorang ibu mendambakan anak-anak yang sholeh, sementara dirinya disibukkan bekerja di luar rumah sehingga pendidikan anak terabaikan, dan kasih sayang tak dicurahkan. Bagaimana mungkin keinginan akan bangsa yang bermartabat dapat terwujud, sedangkan diri pribadi belum bisa menjadi contoh teladan Banyak orang mengaku cinta pada Allah dan Allah hendak menguji cintanya itu. Namun sering orang gagal membuktikan cintanya pada sang Khaliq, karena disebabkan secuil musibah yang ditimpakan padanya. Yakinlah wahai saudaraku kesenangan dan kesusahan adalah bentuk kasih sayang dan cinta Allah kepada hambanya yang beriman… Dengan kesusahan, Allah hendak memberikan tarbiyah terhadap ruhiyah kita, agar kita sadar bahwa kita sebagai makhluk adalah bersifat lemah, kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas izin-Nya. Saat ini tinggal bagi kita membuktikan, dan berjuang keras untuk memperlihatkan cinta kita pada Allah, agar kita terhindar dari cinta palsu. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang betul-betul berkorban untuk Allah Untuk membuktikan cinta kita pada Allah, ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan yaitu: 1) Iman yang kuat 2) Ikhlas dalam beramal 3) Mempersiapkan kebaikan Internal dan eksternal. kebaikan internal yaitu berupaya keras untuk melaksanakan ibadah wajib dan sunah. Seperti qiyamulail, shaum sunnah, bacaan Al-qur’an dan haus akan ilmu. Sedangkan kebaikan eksternal adalah buah dari ibadah yang kita lakukan pada Allah, dengan keistiqamahan mengaplikasikannya dalam setiap langkah, dan tarikan nafas disepanjang hidup ini. Dengan demikian InsyaAllah kita akan menggapai cinta dan keridhaan-Nya.

Cinta ilahi

Cinta Ilahi itu ibarat sutera Walaupun lembut namun utuh dan teguh Cinta Ilahi itu tidak melalaikan Malah memutikkan kerinduan kepadaNya Dan menambahkan ingatan kepadaNya Cinta Ilahi juga dilimpahi ketenangan, kedamaian dan kejujuran Bukannya kepura-puraan dan keterpaksaan Bukan juga bersifat kemilikan Dan tiada juga keraguan serta kepalsuan Cinta Ilahi juga tidak mengelisahkan Dan juga tidak menerbitkan Kecemburuan, hasad dan dendam Itulah cinta Ilahi Yang terbit dari sifatNya Yang Al-Wahhab Yang Ar-Rahman Dan Ar-Rahim

Teman

Teman Ku juga seperti dirimu Mendambakan cinta seorang insan Yang bergelar ADAM Namun bukan cinta duniawi Yang kuimpikan Tetapi cinta kerana Ilahi Cinta yang kekal abadi Hingga ke syurga Seperti cinta Adam dan Hawa Walaupun angkara Iblis terpisah menderita Namun bertemu kembali di dunia Ku tidak impikan cinta Romeo dan Juliet mahupun cinta Laila dan Majnun Biar ada yang berkata itulah cinta Agung Namun jika tidak berpaksikan cinta Ilahi Hilang keagungannya Fikirkanlah teman Cinta mu itu cinta duniawi Atau kerana Ilahi Fikirkanlah ke mana hala tuju cintamu Hingga ke syurga atau sementara sahaja Janganlah kau sia-siakan fitrah dari Ilahi ini Kerana cintamu lahir dari cintaNYA......

Bintang Allah

Maha suci Allah, siapa sangka cahaya bintang-bintang di langit yang kita lihat di malam hari adalah cahaya yang datang kepada kita 4~16 tahun yang lalu (yang terawal). Bahkan ada cahaya bintang yang kita lihat, sebenarnya cahaya bintang yang telah pun bercahaya berjuta-juta tahun yang lampau. Dan cahaya itu selamat sampai ke penglihatan manusia dengan izin dan kehebatan Allah swt. Tahukah anda jarak bintang terdekat (selain matahari) dengan bumi adalah sejauh 4 tahun perjalanan cahaya. Bintang terjauh dari bumi (yang dijumpai setakat ni) adalah sejauh 93 bilion tahun cahaya. 1 tahun perjalanan cahaya lebih kurang 1×1012 kilometer. 1000000000000 KM. pheww.. Subhanallahi wa bihamdihi, subhanallahil ‘azim *********** Setiap amal-amal Islam, kerja-kerja agama, aktiviti-aktiviti dakwah yang kita lakukan, apakah ianya akan menjadi sia-sia? Mungkin hari ni, semua manusia menolak kebaikan yang kita lakukan, siapa jangka beribu tahun mendatang itulah cahaya yang menyelamatkan manusia dari kemurkaan Allah ‘azza wa jalla. Mungkin hari ni, amal-amal Islami yang kita laksanakan tidak mendapat tempat dihati manusia, siapa jangka suatu hari nanti cucu cicit mereka yang akan memperjuangkannya. Seperti mana cahaya bintang yang Allah pelihara dan jaga sehingga sampai ke mata manusia, mudah-mudahan Allah pelihara dan terima setiap amal-amal kebaikan yang kita lakukan untuk Islam. Kalaupun bukan kesannya akan kita lihat segera, pasti memberi manfaat kepada kita di mahkamah agung Allah swt. Allahumma solli ‘ala Muhamad, wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Wallahu’alam wa nastagfirullah al ‘azim. info bintang : wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Observable_universe)

ukhwah

Apa itu Ukhwah Islamiyyah yang sebenar??? Salam dari sis... MUQADDIMAH Konsep Ukhwah Islamiyyah ialah persaudaraan atau kasih saying yang bermatlamatkan mardhatillah yang mana ianya merupakan kurniaan atau pemberian daripada Allah swt. Dia melontarkannya kepada hati-hati hambaNya yang ikhlas dan suci. Firman Allah swt yang bermaksud: “Dan Dialah yang menyatukan di antara hati mereka (yang beriman). Kalaulah engkau belanjakan segala (harta benda) yang ada di bumi, nescaya engkau tidak dapat juga menyatu padukan di antara hati-hati mereka, akan tetapi Allah telah menyatupadukan di antara (hati) mereka. Seungguhnya Ia Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana” (Al Anfaal ayat 63) KEWAJIPAN DAN TANGGUNGJAWAB UKHUWWAH (PERSAUDARAAN): Ukhuwwah atau persaudaraan di dalam Islam merupakan jalinan yang menghubungkan sebahagian dengan sebahagian Umat Islam yang lain. Ia merupakan ikatan rabbani – ikatan yang diikuti di atas dasar ketaatan kepada Allah – yang mengikat hati-hati mereka dan ia merupakan jalinan yang mendekatkan mereka kepada Allah s.w.t. Ukhuwwah merupakan ikatan keimanan yang paling kukuh sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi s.a.w: “Sekuat-kuat ikatan iman ialah cinta dan berkasih-sayang kerana Allah dan marah juga kerana Allah”. (Hadis riwayat Imam Ahmad). Di dalam ajaran Islam persaudaraan adalah satu tonggak yang menjadi tunjang kepada pembinaan sebuah masyarakat Islam yang kukuh dan sendi yang menghubungkan anggota masyarakat. Harakah Islamiah sangatlah memerlukan agar ikatan persaudaraan yang dianjurkan oleh Islam ini diperkukuhkan sehingga ia menjadi seolah-olah satu bangunan yang tersusun rapi, satu anggota memperkuat satu anggota yang lain. Ianya seumpama satu jasad yang apabila satu daripada anggota jasad itu merasai sakit, maka seluruh anggota yang lain akan turut menanggung penderitaannya. Bagi memastikan hak-hak dan kewajipan ukhuwwah ini dilaksanakan dengan sempurna dan berperanan dalam pembangunan jamaah, Islam telah menjelaskan cara-cara bagaimana hak-hak dan kewajipan tersebut dilaksanakan secara amali dengan memberi penekanan bahawa ia adalah satu tanggungjawab yang mesti dilaksanakan bukan sekadar ucapan di bibir atau teori semata-mata. 1. Ukhuwwah (yang terjalin di antara seorang mukmin dengan seorang mukmin yang lain) mestilah menjadi hubungan yang membawa mereka kepada ketaatan kepada Allah sebagai membenarkan sabda Rasulullah s.a.w yang menyatakan: “Sesiapa yang Allah ingin kurniakan kebaikan kepadanya nescaya Allah mengurniakan kepadanya seorang teman setia yang salih, jika sekiranya dia terlupa (lalai) dia menolong memberi peringatan dan apabila (temannya itu) memperingatkannya ia akan menolongnya”. Teman setia yang baik seperti inilah yang dimaksudkan oleh Sayidina Umar bin Al-Khattab r.a yang mengatakan: “Engkau mestilah mencari saudara-saudara yang jujur dan hiduplah di kalangan mereka kerana mereka itu adalah perhiasan di waktu senang dan bekalan di waktu kesusahan”. 2. Di sudut kejiwaan pula, ukhuwwah merupakan satu keperluan kerjasama, turut merasai keperluan-keperluan saudara-saudara yang lain dan berusaha memenuhi keperluan tersebut sebagai menyahut tuntutan sabda Rasulullah s.a.w: “Jika sekiranya seorang dari kamu berjalan bersama saudaranya dengan tujuan memenuhi keperluannya (dan baginda menunjukkan isyarat dengan jari-jari baginda) amalan itu lebih utama dari dia beriktikaf selama dua bulan di dalam masjidku ini”. (Hadis riwayat Al-Hakim dan dia mengatakan bahawa sanad-sanadnya sahih). 3. Persaudaraan juga adalah kerjasama di bidang kebendaan sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w: “Sesiapa yang melapangkan seorang muslim dari satu kesusahan dunia nescaya Allah melapangkan untuknya satu dari kesusahan di akhirat. Sesiapa yang memudahkan seseorang yang berada di dalam kesusahan nescaya Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan di akhirat dan sesiapa yang menyembunyikan rahsia seorang muslim nescaya Allah akan memelihara rahsianya di dunia dan di akhirat. Dan Allah sentiasa menolong seseorang hamba selama ia menolong saudaranya”. 4. Ukhuwwah adalah tanggungjawab kemasyarakatan yang merangkumi kewajipan-kewajipan yang ringkas. Sehubungan dengan perkara ini Rasulullah s.a.w bersabda: “Hak seseorang Muslim ke atas seorang muslim yang lain ada enam perkara: (1)Apabila engkau bertemu dengannya hendaklah engkau memberi salam, (2) Apabila dia menjemputmu maka penuhilah jemputannya itu, (3) Apabila dia meminta nasihat hendaklah engkau memberi nasihat kepadanya, (4) Apabila dia bersin dan bertahmid maka hendaklah engkau lengkapkan dengan bertasymit, (5) Apabila dia sakit hendaklah engkau menziarahinya dan (6) Apabila dia meninggal dunia hendaklah engkau mengiringi jenazahnya”. (Hadis riwayat Muslim). 5. Ukhuwwah juga bererti kemesraan, kasih-sayang dan saling bantu-membantu. Berhubung dengan perkara ini Rasulullah s.a.w bersabda: “Janganlah kamu saling memutuskan hubungan silaturahim, janganlah kamu saling belakang-membelakangi, janganlah kamu saling benci-membenci dan janganlah kamu saling hasad dengki. (Sebaliknya) jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang Muslim itu memulaukan saudaranya (yang mukmin) melebihi tiga hari”. (Hadis riwayat Imam Malik, Bukhari, Abu Daud, Tirmizi dan Nasaie).

Fitnah bagai mana hadapinya?...

Fitnah Selalu Terjadi, Fitnah merupakan komunikasi kepada satu orang atau lebih yang bertujuan untuk memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang dilakukan oleh pihak lain berdasarkan atas fakta palsu yang dapat memengaruhi penghormatan, wibawa, atau reputasi seseorang. Kata “fitnah” diserap dari bahasa Arab, dan pengertian aslinya adalah “cobaan” atau “ujian”. Hal terkait fitnah adalah pengumuman fakta yang bersifat pribadi kepada publik, yang muncul ketika seseorang mengungkapkan informasi yang bukan masalah umum, dan hal tersebut bersifat menyerang pribadi yang bersangkutan.. Berkaitan dengan hal itu, Allah berfirman: أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ (٢) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (٣) ”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS al-‘Ankabût, 29: 2-3) Kehidupan dunia secara keseluruhan, baik dan buruknya adalah fitnah atau ujian bagi manusia. Fitnah yang senantiasa menyertai manusia dalam hidupnya sampai akhir hayatnya. Tetapi sangat disayangkan sebagian besar umat manusia tidak mengetahui bahwa kehidupan di dunia ini fitnah. Sebagian yang lain mengetahui bahwa kehidupan di dunia ini fitnah tetapi kalah oleh dahsyatnya fitnah itu sendiri. Hanya sebagian kecil saja yang sadar bahwa kehidupan di dunia ini fitnah, kemudian mereka berhati-hati terhadap fitnah itu dan ketika lalai atau lupa kembali pada petunjuk Allah. Bagi orang beriman yang memahami hakikat kehidupan dunia, tetap belum aman terhadap fitnah, karena syetan selalu mengawasi mereka dan menggodanya sehingga orang beriman itu, lalai, jatuh dan terkena fitnah dunia dengan segala macamnya. Begitu juga para da’i yang selalu mengajak manusia untuk beribadah pada Allah belum aman dari fitnah. Syetan memiliki seribu satu macam cara untuk memfitnah dan menggoda para da’i sehingga mereka jatuh dan meninggalkan gelanggang dakwah kemudian memilih kehidupan dan profesi lain yang lebih santai, aman dan jauh dari dinamika dakwah. Dan begitu juga para pemimpin umat, muballigh, ustadz dan tokoh masyarakat belum aman dari fitnah. Fitnah akan menyerang siapa saja dari manusia selagi mereka hidup di dunia, ada yang berjatuhan terkena fitnah dan ada juga yang selamat dengan izin Allah. Di akhir zaman ini fitnah akan semakin dahsyat dan mengerikan. Rasulullah s.a.w. bersabda: بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا “Segeralah beramal sebelum datangnya fitnah seperti malam yang gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di pagi harinya. Dia menjual agamanya dengan ‘barang’ kenikmatan dunia.” (HR Muslim dari Abu Hurairah) Rasulullah s.a.w. selalu mengajarkan kepada umatnya agar berlindung kepada Allah dari berbagai macam fitnah yang membahayakan manusia. Di antara doa Rasulullah s.a.w. untuk membentengi fitnah tersebut yaitu: « إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ». “Jika kalian membaca tasyahhud, maka berlindunglah dari empat hal, yaitu berkata:”Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari azab Jahanam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian dan dari buruknya fitnah al-Masih ad-Dajjâl.”(HR Muslim dari Abu Hurairah) Makna Fitnah Ketika orang menyatakan: Fatana al-Ma’din, artinya logam itu dibakar untuk mengetahui kualitasnya, (QS al-‘Ankabût, 29: 2). Fatana Fulânan, artinya si Fulan itu disiksa agar berubah dari sikap atau pendiriannya, (QS QS al-Burûj, 85: 10).Fatanahul Mâl dan Fatanathul Mar’ah, artinya tergoda dengan harta dan wanita, (QS al-Anfâl, 8: 28). Fatana Fulânan ’an Syai’i, artinya melalaikan atau memalingkan dari sesuatu, (QS al-Mâidah, 5: 49). Iftatana bil Amri, artinya terkena fitnah dengan sesuatu seperti harta, wanita dan lainnya. Jadi sesuai dengan ungkapan di atas, fitnah menurut para ahli bahasa bermakna ujian atau cobaan dalam berbagai macam bentuknya. Ada ujian yang buruk seperti siksaan, kesusahan, penderitaan, penyakit dan sebagainya. Ada ujian dalam bentuk kebaikan seperti harta, wanita, kedudukan, popularitas dan sebagainya. Fitnah juga bermakna kegagalan dari sebuah ujian dan berakibat pada keburukan, seperti syirik, kejahatan, kemungkaran, kerusakan, perselisihan, saling bunuh, dan sebagainya. Gambaran Fitnah dalam al-Quran Al-Quran banyak sekali mengungkapkan kata fitnah dengan berbagai macam maknanya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya: الم (١) أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ (٢) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (٣) ”Alif lâm mîm. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS al-‘Ankabût, 29: 1-3) Manusia dalam menyikapi ajaran para nabi dan rasul ada dua sikap. Pertama, orang-orang yang mengimani ajarannya, merekalah orang-orang yang beriman. Dan kedua, orang orang-orang yang mengingkari ajarannya, mereka termasuk kelompok orang-orang kafir. Ketika manusia menyatakan keimanannya, maka mereka akan diuji untuk membuktikan bahwa pernyataan itu benar atau salah. Karena keimanan bukan hanya kata-kata yang diungkapkan, tetapi keimanan adalah hakikat yang mengandung resiko dan tanggungjawab, keseriusan yang membutuhkan ketabahan, jihad yang membutuhkan kesabaran. Oleh karena itu tidak cukup manusia menyatakan beriman sebelum mendapatkan ujian, cobaan dan tantangan. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka semakin besar juga ujian dan cobaannya. Para nabi adalah orang yang paling besar ujian dan cobaannya kemudian yang sejenisnya dan seterusnya sesuai kadar keimanan seseorang. Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w., ketika menjawab pertanyaan para sahabatnya: أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً ؟ قَالَ : الأَنْبِيَاءُ ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ ، يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ ، فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صُلْبًا ، اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ، ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ ، حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ ، وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ. “Siapa manusia yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab; “Para Nabi, lalu orang-orang shaleh, kemudian orang yang paling mulia dan yang paling mulia dari manusia. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar agamanya, jika agamanya kuat maka akan ditambah ujiannya, dan jika agamanya lemah maka akan diringankan ujiannya. Tidaklah ujian itu berhenti pada seorang hamba sampai dia berjalan di muka bumi tanpa mempunyai dosa.” (HR Bukhari, Ahmad dan At-Tirmidzi Sa’ad bin Abi Waqqash). Demikian orang-orang yang menyatakan beriman akan mendapatkan ujian dan cobaan di dunia, sedangkan orang kafir juga akan mendapatkan ujian dan cobaan. Orang beriman mendapatkan ujian awal di dunia berupa penderitaan, cobaan, ujian, kesusahan, fitnah dll untuk kemudian mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan akhir di akhirat. Sedangkan orang-orang kafir bersenang-senang dan berfoya-foya di awal hidupnya di dunia untuk kemudian mendapatkan ujian dan siksaan di akhirat. Jadi kedua golongan itu mendapatkan kesusahan, fitnah dan ujian, orang beriman di dunia dan orang kafir di akhirat. Seseorang bertanya pada imam asy-Syafi’i, dan berkata:” Wahai Aba Abdillah, mana yang lebih utama bagi seorang lelaki, mendapatkan kedudukan atau mendapat ujian?” Berkata imam asy-Syafi’i:” Seseorang tidak mungkin akan mendapat kedudukan sehingga mendapat ujian. Karena sesungguhnya Allah telah menguji Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as, dan Muhammad saw. Ketika mereka sabar, maka Allah berikan kemuliaan kepada mereka. Maka jangan menyangka seorang beriman bebas dari ujian kesusahan. Allah SWT berfirman: وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS al-Baqarah, 2: 155) Gambaran Fitnah Dalam Hadits Hampir di setiap kitab hadits memuat bab tentang Fitnah. Imam Bukhari, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah membuat judul dalam kitab haditsnya Kitabul Fitan, Abu Dawud dan Al-Hakim menyebutnya dengan judul Kitâb al-Fitan wa al-Malâhim(Bab Fitnah dan Huru-Hara), sedangkan imam Muslim menyebutnya Kitab al-Fitan wa ’Asyrât as-Sâ’ah (bab fitnah dan tanda-tanda hari kiamat). Di antara hadits-hadits yang disebutkan dalam shahih Bukhari tentang fitnah dapat disebutkan: Imam Bukhari mengawali hadits Fitnah dengan menyebut QS al-Anfâl, 8: 25, agar orang beriman hati-hati terhadap fitnah dan menjauhinya. Fitnah semakin hari semakin berat dan semakin buruk. Harta yang paling bersih di akhir zaman bagi muslim adalah domba yang digembalakan di hutan dekat gunung dan air hujan. Di antara fitnah di akhir zaman, diangkatnya ilmu, dominannya kebodohan dan banyaknya pembunuhan. Umat Islam harus bersabar pada pemimpin jamaah Islam walaupun benci asal tidak menyuruh kepada kemungkaran dan kekafiran. Cara yang baik untuk selamat dari fitnah yaitu komitmen dengan jamaah Islam. Di masa fitnah dilarang memegang senjata yang membahayakan umat Islam. Tokoh sahabat yang paling menguasai masalah fitnah adalah Hudzaifah bin Al-Yaman. Beliau banyak bertanya tentang keburukan daripada kebaikan. Hal ini dilakukan agar orang-orang beriman terhindar dari fitnah dan keburukannya. Redaksi lengkap hadits tersebut adalah: كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْخَيْرِ ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ ، مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ ، فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قُلْتُ : وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ ، قَالَ : نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ ، قُلْتُ : وَمَا دَخَنُهُ ؟ قَالَ : قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي ، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ ، قُلْتُ : فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا ، قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا ، فَقَالَ : هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا ، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا ، قُلْتُ : فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ ؟ قَالَ : تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ ، قُلْتُ : فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ ؟ قَالَ : فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا ، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ ، حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ. “Manusia biasa bertanya pada Rasulullah s.a.w. tentang kebaikan, sedang aku bertanya kepada beliau tentang kejahatan, karena khawatir akan mengenaiku”. Saya berkata: “Wahai Rasulullah s.a.w. apakah kami dahulu di masa Jahiliyah dan penuh kejahatan, kemudian Allah mendatangkan dengan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini ada lagi keburukan”. Rasulullah s.a.w. menjawab:”Ya”. Apakah setelah keburukan itu ada kebaikan”. Rasulullah s.a.w. menjawab:”Ya, tetapi ada polusinya”. “Apa polusinya?” Rasulullah s.a.w. pun menjawab:” Kaum yang mengambil hidayah dengan hidayah yang bukan dariku, engkau kenali dan engkau ingkari”. Saya berkata:” Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan?” Rasulullah s.a.w. pun menjawab:” Ya, para penyeru ke neraka jahanam, barangsiapa yang menyambut mereka ke neraka maka mereka melemparkannya ke dalam neraka”. Saya berkata:” Ya Rasulullah s.a.w., terangkan ciri mereka pada kami?” Rasulullah s.a.w. pun menjawab:” (kulit) mereka sama dengan kulit kita, berbicara sesuai bahasa kita”. Saya berkata:” Apa yang engkau perintahkan padaku jika aku menjumpai hal itu?” Rasulullah s.a.w. pun bersabda:” Komitmen dengan jamaah muslimin dan imamnya”. Saya berkata:” Jika tidak ada pada mereka jamaah dan imam?” Rasulullah s.a.w. pun menjawab:” tinggalkan semua firqah itu, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai menjumpai kematian dan engkau tetap dalam kondisi tersebut” (HR Bukhari dan Muslim dari Hudzaifah bin al-Yaman)) Hadits lain yang berbicara tentang fitnah yang diriwayatkan Hudzaifah adalah, saat itu kami bersama Umar bin Khathab, beliau berkata: كُنَّا عِنْدَ عُمَرَ فَقَالَ أَيُّكُمْ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ الْفِتَنَ فَقَالَ قَوْمٌ نَحْنُ سَمِعْنَاهُ فَقَالَ لَعَلَّكُمْ تَعْنُونَ فِتْنَةَ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَجَارِهِ قَالُوا أَجَلْ قَالَ تِلْكَ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ وَلَكِنْ أَيُّكُمْ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ الْفِتَنَ الَّتِي تَمُوجُ مَوْجَ الْبَحْرِ قَالَ حُذَيْفَةُ فَأَسْكَتَ الْقَوْمُ فَقُلْتُ أَنَا قَالَ أَنْتَ لِلَّهِ أَبُوكَ قَالَ حُذَيْفَةُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلَا تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتْ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ قَالَ حُذَيْفَةُ وَحَدَّثْتُهُ أَنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا بَابًا مُغْلَقًا يُوشِكُ أَنْ يُكْسَرَ قَالَ عُمَرُ أَكَسْرًا لَا أَبَا لَكَ فَلَوْ أَنَّهُ فُتِحَ لَعَلَّهُ كَانَ يُعَادُ قُلْتُ لَا بَلْ يُكْسَرُ وَحَدَّثْتُهُ أَنَّ ذَلِكَ الْبَابَ رَجُلٌ يُقْتَلُ أَوْ يَمُوتُ حَدِيثًا لَيْسَ بِالْأَغَالِيطِ قَالَ أَبُو خَالِدٍ فَقُلْتُ لِسَعْدٍ يَا أَبَا مَالِكٍ مَا أَسْوَدُ مُرْبَادًّا قَالَ شِدَّةُ الْبَيَاضِ فِي سَوَادٍ قَالَ قُلْتُ فَمَا الْكُوزُ مُجَخِّيًا قَالَ مَنْكُوسًا و حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ الْفَزَارِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو مَالِكٍ الْأَشْجَعِيُّ عَنْ رِبْعِيٍّ قَالَ لَمَّا قَدِمَ حُذَيْفَةُ مِنْ عِنْدِ عُمَرَ جَلَسَ فَحَدَّثَنَا فَقَالَ إِنَّ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَمْسِ لَمَّا جَلَسْتُ إِلَيْهِ سَأَلَ أَصْحَابَهُ أَيُّكُمْ يَحْفَظُ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْفِتَنِ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي خَالِدٍ وَلَمْ يَذْكُرْ تَفْسِيرَ أَبِي مَالِكٍ لِقَوْلِهِ مُرْبَادًّا مُجَخِّيًا و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَعَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ وَعُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ الْعَمِّيُّ قَالُوا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ نُعَيْمِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّ عُمَرَ قَالَ مَنْ يُحَدِّثُنَا أَوْ قَالَ أَيُّكُمْ يُحَدِّثُنَا وَفِيهِمْ حُذَيْفَةُ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْفِتْنَةِ قَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا وَسَاقَ الْحَدِيثَ كَنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي مَالِكٍ عَنْ رِبْعِيٍّ وَقَالَ فِي الْحَدِيثِ قَالَ حُذَيْفَةُ حَدَّثْتُهُ حَدِيثًا لَيْسَ بِالْأَغَالِيطِ وَقَالَ يَعْنِي أَنَّهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Umar pernah bertanya kepadaku ketika aku bersamanya, ‘siapakah di antara kamu yang pernah mendengar Rasulullah s.a.w. meriwayatkan tentang fitnah (ujian)?’ Para sahabat menjawab, ‘Kami pernah mendengarnya! ‘Umar bertanya, ‘Apakah kamu bermaksud fitnah seorang lelaki bersama keluarga dan tetangganya? ‘ Mereka menjawab, ‘Ya, benar.’ Umar lalu berkata, ‘Fitnah tersebut bisa dihapuskan oleh shalat, puasa, dan zakat. Tetapi, siapakah di antara kamu yang pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang fitnah yang bergelombang sebagaimana gelombangnya lautan? ‘ Hudzaifah berkata, ‘Para Sahabat terdiam.’ Kemudian Hudzaifah berkata, ‘Aku, wahai Umar! ‘ Umar berkata, ‘Kamu! Ayahmu sebagai tebusan bagi Allah.’ Hudzaifah berkata, “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Fitnah akan dipaparkan pada hati manusia bagai tikar yang dipaparkan perutas (secara tegak menyilang antara satu sama lain). Mana pun hati yang dihinggapi oleh fitnah, niscaya akan terlekat padanya bintik-bintik hitam. Begitu juga mana pun hati yang tidak dihinggapinya, maka akan terlekat padanya bintik-bintik putih sehingga hati tersebut terbagi dua: sebagian menjadi putih bagaikan batu licin yang tidak lagi terkena bahaya fitnah, selama langit dan bumi masih ada. Sedangkan sebagian yang lain menjadi hitam keabu-abuan seperti bekas tembaga berkarat, tidak menyuruh kebaikan dan tidak pula melarang kemungkaran kecuali sesuatu yang diserap oleh hawa nafsunya.” Hudzaifah berkata, “Dan aku menceritakannya bahwa antara kamu dan fitnah tersebut ada pintu penghalang yang tertutup yang hampir pecah.” Umar berkata, “Apakah telah dibelah dengan suatu belahan, kamu tidak memiliki bapak (maksudnya kamu perlu bekerja keras), sekiranya benar pasti akan dikembalikan lagi (tertutup).” Aku berkata, “Tidak, bahkan dibelah.” Dan aku menceritakan bahwa pintu itu adalah seorang laki-laki yang dibunuh atau meninggal (maksudnya pintu fitnah dibuka setelah meninggalnya Umar, ed.), aku menceritakan sebuah hadits bukan dari (mengutip) kitab yang tebal (perjanjian baru dan lama).” Abu Khalid berkata, aku berkata kepada Sa’ad, “Wahai Abu Malik, “Apa maksud hitam keabu-abuan?” Sa’ad menjawab, “Maksudnya sangat putih dalam hitam.” Dia berkata, “Aku berkata, ‘Maka maksud al-Kuz Mujakhkhiya’. Dia menjawab, ‘Maksudnya bengkok’.” Dan telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Umar telah menceritakan kepada kami Marwan al-Fazari telah menceritakan kepada kami Abu Malik al-Asyja’i dari Rib’i dia berkata, ketika Hudzaifah datang dari sisi Umar, ia kemudian duduk seraya menceritakan kepada kami, “Sungguh, saat aku duduk di sisinya, Amirul Mukminin bertanya kepada para sahabatnya, ‘Siapakah di antara kalian yang menghafal sabda Rasulullah tentang fitnah? Lalu dia membawakan hadits dengan semisal hadits Abu Khalid, dan tidak menyebutkan tafsir Abu Malik tentang makna murbad mujakhkhiya.” Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna dan Amru bin Ali serta ‘Uqbah bin Mukram al-Ammi mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Adi dari Sulaiman at-Taimi dari Nu’aim bin Abu Hind dari Rib’i bin Hirasy dari Hudzaifah bahwa Umar berkata, “Siapa yang bisa menceritakan kepada kami, atau siapakah di antara kalian yang bisa menceritakan kepada kami -Sedangkan di antara mereka ada Hudzaifah- tentang yang disabdakan Rasulullah s.a.w. dalam fitnah?’ Hudzaifah menjawab, ‘Saya bisa.’ Lalu dia membawakan hadits seperti hadits Abu Malik dari Rib’i.” Perawi berkata, “Kemudian ia menyebutkan dalam haditnya, ‘Hudzaifah berkata, ‘Aku telah menceritakan sebuah hadits bukan dari nukilan kitab tebal, dan dia berkata, yaitu dari Rasulullah s.a.w..” (HR Bukhari dan Muslim) Fitnah anak, isteri, tetangga dan lain-lain berupa mencintai mereka secara berlebihan, kurang ketaatannya kepada Allah akibat kesibukan dengan mereka, munculnya sikap kikir akibat kecintaan tersebut. Fitnah anak istri dapat juga berupa melalaikan hak-hak anak dan istri seperti mendidik mereka, begitu juga terkait dengan fitnah tetangga. Dan fitnah ini sebagaimana disebutkan dalam hadits terhapus dengan ibadah shalat, puasa dan sedekah. Fitnah ini banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, di antaranya: إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS at-Taghâbun, 64: 15). Rasulullah s.a.w. bersabda: مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ ”Tidaklah aku tinggalkan fitnah yang lebih besar bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid). Dikatakan oleh ulama bahwa fitnah anak ada satu dan fitnah wanita ada dua. Fitnah wanita ada dua yaitu, pertama; wanita menyuruh suaminya untuk memutus hubungan silaturahim pada ibu dan saudara-saudara suaminya. Kedua; menyuruh suaminya untuk mencari harta yang halal atau haram. Sedangkan fitnah anak hanya satu yaitu membuat bapaknya mencari harta yang halal atau haram. Dan fitnah lain yang disebut Hudzaifah adalah fitnah yang besar seperti gelombang lautan yang dapat menghanyutkan siapa saja yang ada di lautan kehidupan. Dalam hadits lain fitnah ini dapat menyebabkan seorang yang paginya muslim sorenya menjadi kafir, atau sorenya muslim, paginya menjadi kafir, mereka menjual agama dengan harta yang sedikit. Di antara fitnah yang sangat besar adalah fitnah yang muncul dari para pemuka agama, alim ulama, kyai dan para da’i, jika mereka sudah terkena fitnah dunia, maka mereka menjual agamanya dengan harta dunia, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ulama seperti ini dalam terminologi Islam disebut Ulama Suu (ulama jahat). Ciri khas mereka yang utama adalah lebih mencintai dan mengutamakan dunia. Akibatnya mereka tidak dapat berkata benar dalam mengeluarkan pernyataan dan fatwanya, karena hukum Allah senantiasa bertentangan dan bertolak belakang dengan syahwat manusia dan kecintaan mereka terhadap dunia, seperti kecintaan pada harta, kekuasaan, wanita dll. Rasulullah s.a.w. bersabda: أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ عِلْمُهُ ”Orang yang paling keras azabnya di hari kiamat adalah ‘alim, yang Allah tidak memberi manfaat pada ilmunya” (HR At-Thabrani dan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah). Sementara itu, Umar bin al-Khaththab r.a. berkomentar:”Yang paling aku takuti pada umat ini adalah orang jahat yang pandai berkata (ilmunya tidak sampai pada hatinya)”. Sedang Ali bin Abi Thalib r.a. berkata:” Yang paling menjengkelkanku adalah dua orang, orang berilmu tapi jahat, orang bodoh tapi rajin ibadah. Yang pertama membuat jauh manusia karena kejahatannya, dan yang kedua menipu manusia karena ibadahnya.” Ulama Sû (Jahat) akan senantiasa melakukan bid’ah untuk membenarkan kejahatannya. Maka terkumpulah pada mereka sifat buruk, mengikuti hawa nafsu yang mematikan mata hatinya, sehingga tidak dapat membedakan antara yang hak dan batil, bahkan memutarbalikkan antara yang hak dengan batil, sehingga melihat yang hak itu batil dan yang batil itu hak. Demikianlah kejahatan ulama jika sudah lebih mencintai dunia, syahwat dan hawa nafsu dari akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam QS al-A’râf, 7: 175,176. Macam-Macam Fitnah Sebagaimana uraian di atas, maka secara umum fitnah terbagi menjadi dua, yaitu fitnah kebaikan dan fitnah keburukan. Allah SWT berfirman: كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (QS al-Anbiyâ’, 21: 35). Fitnah kebaikan biasa disebut juga dengan fitnah dunia dan bermuara pada tiga hal yaitu harta, tahta dan wanita. Nabi s.a.w. bersabda: إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ ”Sesungguhnya dunia itu manis dan lezat, dan sesungguhnya Allah menitipkannya padamu, kemudian melihat bagaimana kamu menggunakannya. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani Israil disebabkan wanita” (HR Muslim dari Abu Sa’id al-Khudriy) Harta dengan segala macamnya pada dasarnya adalah kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Dan manusia harus menjadikannya sebagai sarana ibadah dalam hidupnya. Manusia yang mestinya menjadikan harta sebagai sarana tetapi mereka menjadikannya tujuan hidup bahkan banyak yang menghambakan hidupnya pada harta. Sehingga celakalah mereka, harta berubah menjadi fitnah dan bencana yang merugikan dirinya di dunia maupun akhirat. Dan bagian fitnah yang harus diwaspadai para da’i dan pemimpin umat terkait dengan kebaikan adalah popularitas, sanjungan, pujian, penampilan, kecantikan, pengikut yang banyak, kemenangan dan sejenisnya. Imam Ahmad bin Hambal setelah terbebas dan penyiksaan yang berat dan dikeluarkan dari penjara, beliau mendapatkan simpati dan sambutan yang luar biasa dari pengikutnya. Mereka berdatangan untuk belajar, bertanya dan berguru pada Imam Ahmad. Melihat sambutan yang luar biasa dari pengikutnya, imam Ahmad menangis dan sangat khawatir kalau ini adalah istidrâj (fitnah yang sengaja dibiarkan oleh Allah untuk dinikmati) yang akan menjatuhkan beliau dari sikap istiqamah. Sedangkan fitnah keburukan, seperti siksaan sampai ke tingkat pembunuhan, pengusiran, pemenjaraan, pemboikotan, kemiskinan, penyakit dll. Demikianlah fitnah terjadi silih berganti yang terjadi pada para nabi dan orang-orang beriman, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” (QS al-Baqarah, 2: 214) Dalam konteks pemikiran dan gerakan, muncul beragam fitnah dan syubhat di bidang gerakan pemikiran sesat dan bid’ah yang menjamur di tengah masyarakat muslim, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal), Ahmadiyah, Baha’iyah, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), Isa Bugis, Syiah dll. Fitnah ini muncul karena lemahnya umat Islam terhadap ajaran Islam. Dan jatuhlah mereka pada pemahaman yang salah dan menyimpang terhadap Islam. Tingkat penyimpangan gerakan pemikiran berbeda satu sama lain, ada yang sudah sesat dan keluar dari ajaran Islam, seperti Ahmadiyah, tetapi ada juga yang masih dapat diajak dialog tentang keislaman. Dan fitnah yang terbesar dan terberat yang dihadapi oleh orang-orang beriman adalah fitnah menyebarnya kemusyrikan, kekafiran, kemungkaran, perselisihan dan perang antara sesama orang beriman. Fitnah yang pertama muncul setelah wafatnya Rasul s.a.w., menyebarnya kemurtadan dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Dan Abu bakar As-Siddiq berhasil memeranginya. Fitnah pembunuhan terhadap Khulafaur Rasyidin, Umar, Utsman dan Ali semoga Allah meridhai semuanya. Fitnah antara imam Ali RA dengan Siti Aisyah RA dalam perang Jamal, antara Ali RA dengan Muawiyah RA dalam perang Shiffin. Dan para ulama menyebutnya dengan istilah Fitnah Qubra. Sikap Para Da’i terhadap Fitnah Segala macam fitnah harus disikapi dengan bijak oleh para da’i sesuai dengan bentuk dan kadar fitnahnya. Ketika para da’i berhasil mengatasi fitnah yang terjadi di dunia, maka dia akan sukses dan mendapatkan ganjaran yang besar dari sisi Allah. Sikap pertama yang harus dilakukan oleh para da’i untuk menghadapi fitnah adalah hati-hati dan waspada (hadzr). Setiap da’i apapun yang terjadi, baik dan buruknya, senantiasa dalam kondisi diuji. Kemudian untuk menyikapi segala macam fitnah keburukan para da’i harus bersabar, bersabar tidak terlibat dalam keburukan dan bersabar atas segala musibah yang buruk. Dan menyikapi segala bentuk kemudahan para da’i harus bersyukur. Rasulullah s.a.w. bersabda: «عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ». ”Sungguh menakjubkan urusan orang beriman, segala urusannya baik dan itu tidak terjadi kecuali orang beriman. Jika diuji kemudahan, dia bersyukur maka itu baik untuk orang beriman. Dan jika diuji kesusahan maka dia bersabar, dan itu baik untuk orang beriman” (HR Muslim dari Shuhaib) Selanjutnya dalam menyikapi berbagai macam huru hara, perselisihan dan fitnah antara sesama muslim, maka sikap para da’i harus tetap komitmen pada jamaah Islam dan tetap taat pada pemimpin selagi tidak menyuruh pada kemungkaran dan kekafiran. Fitnah terkait dengan kebatilan dan pemikiran yang sesat harus dihadapi dengan dakwah dan argumentasi yang kuat sehingga terlihat jelas antara kebenaran dan kebatilan. Ulama dan para da’i harus menjelaskan kepada umat antara yang hak dengan yang batil agar mereka tidak menjadi bingung dan tidak tersesat. Rasulullah s.a.w. bersabda: «أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ». “Sebaik-baiknya jihad adalah perkataan yang benar pada penguasa yang lalim” (HR Ahmad dari Thariq bin Syihab). Pada masa kekhalifahan imam Ali RA. Banyak kaum yang keluar dari jamaahnya dan disebut kelompok Khawarij. Lalu imam Ali RA. Mengirim Ibnu Abbas RA kepada mereka untuk berdialog seputar agama dan pemahaman Islam, maka banyak sekali di antara mereka yang sadar dan kembali pada ajaran yang benar. Begitu juga terhadap kelompok yang mengkultuskan dirinya dari kalangan Syiah, maka imam Ali RA senantiasa mengarahkan pada pemahaman yang benar dan menolak segala macam pengkultusan. Sedangkan untuk menyikapi fitnah kekafiran dan kemusyrikan, maka umat Islam harus berjihad melawannya. Allah SWT berfirman: وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلّه فَإِنِ انتَهَوْاْ فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ”Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan” (QS al-Anfâl, 8: 39). Seluruh bentuk fitnah harus dilawan dengan startegi yang tepat oleh umat Islam, sehingga Islam (baca: umat Islam) menjadi Syuhadâ’ ‘Alâ an-Nâs (‘yang memimpin’) di muka bumi ini.

Utamakan kelembutan

Maraknya aksi kekerasan belakangan ini mengundang keprihatinan kita bersama. Hampir tiap hari kita disuguhi berbagai kabar tindak kekerasan, baik itu berbentuk penyerangan, pengeroyokan, tawuran, maupun tindakan anarkistis lainnya. Pelakunya pun cukup beragam dilihat dari usia dan jabatannya. Banyak orang pun bertanya, ada apa dengan karakter masyarakat kita ini. Bukankah dulu kita berbangga karena dikenal bangsa lain sebagai bangsa yang santun, lembut, dan ramah? Lantas, ke mana semua sifat mulia itu sekarang ini? Al-Quran sebagai pedoman hidup kita, mengajarkan bagaimana menghadapi persoalan. Sebagaimana firman Allah: فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”[QS Âli ‘Imrân, 3: 159]. Lewat ayat ini Allah mengingatkan kita agar mengedepankan sikap lemah lembut dan menjauhi kekasaran atau kekerasan seperti tecermin dari sikap yang dimiliki (oleh) Rasulullah s.a.w.. Kita juga diajarkan untuk suka memaafkan kesalahan orang lain sekaligus memintakan ampun atas dosa dan kesalahannya. Dan, jangan lupa untuk mengedepankan sikap musyawarah, diskusi, dan dialog dengan santun menghadapi berbagai persoalan, bukan demonstrasi anarkistis, teror, dan menebar ancaman. Selanjutnya, kita diminta bertawakal setelah membulatkan tekad karena Allah menyukai orang-orang yang bertawakal. Kita juga perlu meneladani bagaimana Nabi kita membalas perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain. عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، زَوْجَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ دَخَلَ رَهْطٌ مِنَ الْيَهُودِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكُمْ قَالَتْ عَائِشَةُ فَفَهِمْتُهَا فَقُلْتُ وَعَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ قَالَتْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَهْلاً يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ وَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: “قَدْ قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ”. “Dari ‘Urwah bin Zubair bahwa ‘Aisyah r.a., isteri Nabi s.a.w., berkata, bahwa sekelompok orang Yahudi datang menemui Rasulullah s.a.w., mereka lalu berkata: “Assâmu ‘alaikum (semoga kecelakaan atasmu)”. ‘Aisyah berkata: “Saya memahaminya”, maka saya pun menjawab: “Wa’alaikum as-sâm wa al-la’nah (semoga kecelakaan dan laknat tertimpa atas kalian).” ‘Aisyah r.a. berkata, lalu Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tenanglah wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah mencintai sikap lemah lembut pada setiap perkara”. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mendengar apa yang telah mereka katakan?’” Rasulullah s.a.w. pun menjawab: ‘Saya telah menjawab: “’Wa’alaikum (dan semoga atas kalian juga).” (HR al-Bukhari) Perhatikanlah, bagaimana Nabi kita, walaupun didoakan dengan kejelekan, dan istrinya – ‘Aisyah — tidak rela untuk menerima perlakuan seperti itu, beliau tetap menasihati isterinya agar tetap menjaga kelembutan hati, tidak terpancing emosi, serta menghindari kekerasan (sikap kasar) dan pembalasan yang berlebihan. Nabi kita juga mengajarkan bagaimana menghadapi ‘kejahilan’ yang dilakukan seorang Badui yang mengencingi Masjid Nabi, seperti termaktub dalam kitab shahih Bukhari, dari Anas bin Malik r.a.: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى أَعْرَابِيًّا يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ دَعُوهُ حَتَّى إِذَا فَرَغَ دَعَا بِمَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ “Bahwa Nabi s.a.w. melihat seorang Arab Badui kencing di masjid, maka Rasulullah bersabda, “Biarkanlah [dia kencing sampai selesai].” Kemudian, setelah selesai, beliau meminta diambilkan air, lalu beliau menyiramnya.” Belajar dari peristiwa tersebut, marilah kita kedepankan sikap lemah lembut, ramah, santun, dan sabar dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Bukan dengan [cara] kekerasan dan pemaksaan kehendak.

Adap bersembang

.Sesungguhnya Islam agama yang indah. Setiap perkara mempunyai adab dan aturannya yang tersendiri. Semuanya diajarkan Nabi SAW sehinggalah sekecil-kecil perkara seperti masuk dan keluar tandas. Pernah terjadi beberapa orang Musyrikin mengejek Salman al-Farisyi r.a., kata mereka, "Nabi kamu mengajarkan semua benda sehingga perkara berkaitan istinjak. Kata Salman, "Memang benar! Nabi kami menegah daripada membuang air besar atau kecil dalam keadaan menghadap kiblat, beristinjak menggunakan tangan kanan, beristinjak kurang daripada tiga biji batu." (Hadis Riwayat Muslim) Antara adab yang selalu dipandang ringan oleh umat Islam adalah adab bersembang. Apakah perbualan atau cara kita bersembang setiap hari menepati tuntutan Islam? 1. Suara yang rendah dan lembut. Menurut Syeikh Abdul Fatah Abu Ghuddah, meninggikan suara terhadap seseorang itu menunjukkan kurangnya hormat kita kepada mereka. Seeloknya kita bercakap dengan kadar yang sederhana, sebagaimana yang kita inginkan apabila mendengar daripada seseorang. Adab ini perlu diamalkan sama ada ketika bersama sahabat mahupun musuh, orang yang dikenali mahupun tidak, orang kecil mahupun dewasa. Lebih- lebih lagi ketika bersama kedua-dua orang tua dan orang yang setaraf dengan mereka. Menurut Abdullah bin Zubair r.a., selepas turunnya ayat ke-2 surah al-Hujurat iaitu "Wahai orang-orang yang beriman, jangan kamu meninggikan suara kamu melebihi suara Nabi". Sayidina Umar r.a. terus berubah sikapnya. Sekiranya bercakap dengan Nabi, dia akan bercakap seperti orang berbisik-bisik sehingga terpaksa disuruh ulang beberapa kali kerana tidak dapat difahami . Imam Zahabi menyebut, "Jikalau orang tidak mengenali siapa Muhammad bin Sirin (ulama Tabi'in), mereka akan menyangka dia seorang yang sakit kerana terlalu rendah suaranya apabila bercakap dengan ibunya." Lihatlah, betapa beradabnya golongan salaf dalam berkata-kata.2. Tidak menunjuk pandai. Antara adab bersembang juga, kita tidak memalukan sahabat kita dengan menzahirkan kepada mereka apa yang kita ketahui sedangkan mereka tidak memahaminya. Sabda nabi SAW, "Berbicaralah kepada manusia menurut kadar kemampuan akal mereka." (Hadis Riwayat Muslim) Contohnya jikalau kita seorang pakar ekonomi dan berhadapan dengan seorang petani kampung, elakkan bercakap tentang kerja kita yang jauh di luar bidang mereka serta sukar difahami dengan mudah. Sebaik-baiknya, tunjukkanlah perhatian kepada mereka dan lebihkan mendengar daripada berkata-kata. Seorang Tabi'in yang terkenal iaitu Imam Ata' bin Abi Rabah berkata, "Seorang pemuda menceritakan kepadaku sebuah kisah. Aku mendengarnya dengan teliti seolah-olah aku tidak pernah mendengarnya sebelum ini. Sebenarnya aku telah mendengar kisahnya itu sebelum dia dilahirkan lagi." Khalid bin Safwan berkata, "Jikalau seseorang bercerita dan aku telah mendengarnya sebelum ini, atau perkara itu telah kuketahui, aku tidak akan menyampuknya. Aku bimbang dia akan menyedari yang aku telah mengetahuinya." Begitulah cara ulama-ulama menjaga pergaulan mereka. Mereka tidak meringan-ringankan kata-kata seseorang walaupun perkara tersebut sudah diketahui. 3. Biarkan mereka menghabiskan ucapan. Sekiranya kita musykil tentang sesuatu yang diperkatakan, hendaklah bersabar sehingga seseorang menghabiskan ucapannya. Kemudian, soallah dengan adab dan berhemah. Jangan memotong di tengah-tengah percakapan. Ia akan menghilangkan adab serta menimbulkan rasa tidak senang orang yang sedang bercakap. Melainkan ketika dalam kelas pengajian, kita boleh bertanya dan berbincang sekiranya guru mengizinkan. Menurut Ibrahim bin al-Junaid, "Belajarlah cara mendengar yang baik sepertimana kamu belajar cara bercakap yang baik. Antara ciri pendengar yang baik juga adalah membiarkan seseorang menghabiskan kata-katanya, bercakap menghadap tubuhnya dan bertentangan wajahnya serta tidak menyampuk sekiranya dia membicarakan sesuatu yang sudah kamu ketahui."Nabi SAW apabila diseru seseorang, Baginda tidak sekadar memalingkan muka bahkan menghadapkan seluruh tubuhnya kepada orang tersebut. Inilah bukti keindahan pekerti Rasulullah SAW. Sama-samalah kita mengamalkan adab yang indah ini. Walaupun nampak ringan dan kecil, pasti ada kelebihan pada setiap amalan yang dianjurkan ulama-ulama Islam. Kata pepatah Arab, "Jangan kamu memandang ringan benda yang kecil, sesungguhnya gunung itu terhasil daripada debu-debu yang halus." Rujukan: Kitab Min Adabil Islam, Syeikh Abdul Fatah Abu Ghuddah

Ucapkan la insyaallah

UCAPKANLAH "INSYAALLAH" Berkali-kali saya dengar (banyak) orang mengucapkan kalimat insyâallâh, dan selanjutnya mereka merasa tak terbebani dengan ucapan itu, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. “Sekarang berjanji, besok pun diingkari”. Kenapa hal itu bisa terjadi? Memang, banyak orang di sekitar kita yang sering mengucapkan kata insyâallâhtanpa menghayati maknanya. Alih-alih menghayati, bisa jadi mereka ‘tak benar-benar mengerti’ makna kata insyâallâh itu. Lalu, pertanyaan kita yang kita jawab (selanjutnya) adalah: “Apa makna esensial dari kata yang terlalu sering kita dengar itu? sekarang perhatikan makna firman Allah dalam QS al-Kahfi, [18]: 23-24: وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا (٢٣) إِلاَّ أَن يَشَاء اللَّهُ وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَن يَهْدِيَنِ رَبِّي لأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا (٢٤) “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “insyâallâh“. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada (hal) ini”. Menurut salah satu riwayat, berkaitan dengan sabab an-nuzûl ayat di atas, ada beberapa orang Quraisy yang bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. tentangrûh, kisah ashhâbul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain. Berawal dari pertanyaan itu beliau pun menjawab: “Datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan (untuk menjawab pertanyaan itu)”. Dan beliau sama sekali tidak mengucapkan kalimat insyâallâh (jika Allah menghendaki). Ternyata, sampai esok harinya wahyu (yang diharapkan datang untuk menjawab pertanyaaan itu) terlambat datang untuk menceritakan (menjawab) hal-hal (perihal pertanyaan) tersebut, dan Nabi s.a.w. pun (karena belum turunnya wahyu dari Allah) tidak mampu menjawabnya. Berkaitan dengan hal itu, maka turunlah QS al-Kahfi, [18]: 23-24, sebagai pelajaran kepada Nabi Muhammad s.a.w.. Dalam hal ini Allah mengingatkan Nabi s.a.w. (yang telah) lupa menyebut kalimat insyâallâh ketika berjanji, dan beliau pun menyadari kekhilafannya. Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa perkataan Nabi s.a.w. di atas ‘hendaklah’ disertai dengan kata-kata “ insyâallâh” yang artinya “jika Allah menghendaki atau mengizinkan”. Sebab kemungkinan seseorang akan meninggal dunia sebelum hari besok itu datang dan barangkali ada suatu halangan, sehingga dia tidak dapat mengerjakan apa yang diucapkannya itu. Maka bilamana dia menyertakan dengan kata “ insyâallâh“, tentulah dia tidak dipandang sebagai pendusta dalam janjinya itu. Sekiranya seseorang terlupa mengucapkan kata-katainsyâallâh dalam janjinya itu, hendaklah dia mengucapkan kalimat itu sewaktu dia teringat kapan saja. Sebagai contoh pernah Rasul s.a.w. mengucapkan katainsyâallâh, setelah dia teringat. Beliau mengucapkan: « وَاللَّهِ لأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا وَاللَّهِ لأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا ». ثُمَّ سَكَتَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ :« إِنْ شَاءَ اللَّهُ ». “Demi Allah aku pasti akan memerangi orang-orang Quraisy, kemudian beliau diam sesaat, lalu mengucapkan (kata): “insyâallâh“. (HR al-Baihaqi dari Abdullah bin Abbas) Sesudah Allah memberikan — kepada Nabi s.a.w. — tuntunan tentang adab terhadap Allah ketika berjanji, atau berniat untuk melakukan suatu pekerjaan yang akan datang, maka kemudian Allah memerintahkan kepada rasul-Nya (Muhammad s.a.w.) supaya mengharapkan dengan sangat kepada-Nya, dengan harapan Allah berkenan untuk memberikan petunjuk kepada beliau ke jalan yang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih kuat untuk dijadikan alasan bagi kebenaran agama. Allah telah memenuhi harapan Nabi s.a.w. tersebut dengan menurunkan cerita Nabi-nabi beserta umat mereka masing-masing pada zaman-zaman yang terkait dengan keberadaan mereka. Dengan kisah para nabi dan umatnya itu, umat Islam memeroleh pelajaran yang sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka untuk, baik untuk kehidupan dunia dan akhirat. (Al-Qurthubi,al-Jâmi Li Ahkâm al-Qurân, juz X, hal. 385) Untuk menjawab pertanyaan mengenai makna (esensial) kalimat insyâallâh, para ulama menjelaskan, bahwa sesuatu yang menyangkut masa yang akan datang, minimal mencakup lima unsur: (1) pelaku (subjek); (2) yang diperlakukan (objek); (3) waktu dan tempat kejadian; (4) sebab- musabab; (5) kekuatan dan kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, misalnya ketika seseorang berkata: “Besok saya akan pergi ke tempat Mr. X untuk membicarakan masalah X”, sebenarnya orang tersebut tidak memiliki jaminan apa pun bahwa ia akan tetap bisa hidup sampai besok dan berkemampuan untuk datang ke tempat Mr. X untuk membicarakan masalah yang dijanjikannya. Begitu pula Mr. X yang akan ditemui olehnya, juga tak memiliki jaminan yang sama untuk bisa bertemu denganya di tempat dan waktu yang dijanjikan. Kalau pun ‘ia’ pada waktu yang sudah ditentukan ‘bisa pergi’, mungkin waktunya tidak setepat yang dijanjikan, atau tempatnya pun bisa berubah; atau mungkin saja pada waktu dan tempat yang telah dijanjikan, mereka berdua itu tidak berkemampuan untuk melaksanakan niatnya, atau bahkan juga bisa berubah niat untuk melaksanakannya pada saat dan tempat yang berbeda. Kesimpulan pentingnya: “siapa pun sama sekali tidak memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan ‘kelima unsur’ tersebut di atas secara mandiri, tanpa bergantung pada siapa pun. Semua itu akan terpulang dan dikembalikan kepada pengaturnya; Allah-lah yang Maha Kuasa untuk mengatur semua persoalan, termasuk sesuatu yang kita inginkan. Manusia – sekuat apa pun — harus menuruti kehendak-Nya. Sehingga ucapan insyâallâh yang diucapkan oleh setiap orang, bermakna: “Jika Allah menghendaki atau mengizinkan, semua rencana orang itu pasti akan terlaksanana. Sebaliknya, bila Allah tidak menghendaki atau mengizinkan, pasti rencana orang itu pun akan (selalu) gagal. Selanjutnya, apa yang seharusnya kita sikapi ketika kita sudah benar-benar mantap mengucapkan kalimat insyâallâh? Kita – setelah mengucapkannya — harus berupaya optimal untuk melaksanakan apa yang kita niatkan dengan seluruh kemampuan kita, dengan dua sikap yang tak mungkin kita abaikan: “Sabar dan Tawakal”. Sabar, dalam pengertian: “bersikap pro-aktif untuk meraih sesuatu yang kita niatkan, (kita) kehendaki, (kita) inginkan, (kita) harapkan, (kita) cita-citakan tanpa ‘kenal’ putus asa”. Diiringi dengan sikap ‘tawakal’, dalam pengertian: “menyandarkan diri dalam semua usaha kita hanya kepada Allah semata”. Jadi, substansi ucapan ‘insyâallâh’ yang telah kita ucapkan, bermakna: “kita telah benar-benar bertekad untuk melaksanakan apa yang kita niatkan dan (kita) janjikan seoptimal mungkin, dengan sebuah kesadaran (ilahiah), bahwa ‘hasil’ dari setiap upaya kita (benar-benar) hanya bergantung pada kehendak dan izin Allah semata. Tanpa kehendak dan izin Allah, apa pun yang sudah kita upayakan tidak akan pernah berhasil untuk kita capai, kapan pun dan di mana pun! Sebagai seorang muslim, ketika sudah mengucapkan kalimat insyâallâh, harusberhimmah untuk beramal shalih seoptimal mungkin (yang berpotensi mengisi kekosongan hati kita), disertai dengan keinginan kuat untuk meninggalkan perbuatan ‘dosa’ (maksiat) sekecil apa pun (yang berpotensi mengotori hati kita), dan dengan (mantap) mengucapkan kalimat yang menunjukkan kekuatan niat kita: “insyâallâh”, agar kita bisa membangun sikap ikhlas dalam beramal shalih dan (sekaligus) membangun budaya “kerja keras dan cerdas” dengan pondasi iman dan taqwa kita sebagai seorang muslim. Sekarang, dengan pengakuan keislaman kita, “bukan saatnya kita ‘bermimpi’. Buktikan bahwa kita bisa ‘beraksi’. Bersama Allah, insyâallâh, kita “boleh"

Kejujuran

Kejujuran terkesan mahal di negeri ini. Berbuat dan berkata dusta justeru terkesan menjadi suatu hal yang lumrah. Kedustaan seakan diumbar tanpa memiliki rasa bersalah dan takut akan dosa. Individu, masyarakat, dan bangsa yang sudah tidak mengutamakan kejujuran dipastikan akan dihampiri kehancuran. Kejujuran adalah dasar dari kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Kejujuran adalah prasyarat utama pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berlandaskan prinsip saling-percaya, kasih sayang, dan tolong-menolong. Kejujuran adalah inti dari akhlak yang merupakan salah satu tujuan dari diutusnya Rasulullah s.a.w. oleh Allah SWT. Rasulullah s.a.w. bersabda: عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ وَالْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ “Bersikap jujurlah kamu sekalian, karena sesungguhnya kejujuran itu selalu akan mengantarkan dirimu kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu selalu akan mengantarkan dirimu ke surga. Dan jauhilah olehmu kebohongan, karena sesungguhnya kebohongan itu selalu akan mengantarkan dirimu kepada keburukan, dan sesungguhnya keburukan itu selalu akan mengantarkan dirimu ke neraka”. (HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud). Makna penting dari hadis di atas adalah: ”Menjauhi kebohonganan adalah sebuah keharusan, karena kebohongan akan membawa kepada dosa dan dosa akan membawa ke neraka. Setiap muslim, hendaklah bersikap jujur karena kejujuran akan membawa pada kebajikan dan kebajikan akan membawa ke surga.” Hakikat kejujuran ialah mengatakan sesuatu dengan ”apa adanya” (tanpa topeng kebohongan) di tempat (situasi) yang tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyelamat, kecuali kedustaan. Secara psikologis, kejujuran akan mendatangkan ketenteraman jiwa. Sebaliknya, seseorang yang tidak jujur pasti akan selalu resah, dan selanjutnya akan tega untuk melakukan perbuatan ’jahat’ serta menutupi kebenaran. Kedustaan dan ketidakjujuran akan selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya akan mengancam stabilitas sosial. Ketidakjujuran selalu akan melahirkan pada ketidak-adilan, disebabkan orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya saja. Pribadi yang jujur merupakan ruh kehidupan yang teramat fundamental karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Sebagai contoh, para penyelenggara negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak akan pernah menanggalkan prinsip kejujuran. Kejujuran juga akan melahirkan penghargaan terhadap hak-hak orang lain. Sebab, kejujuran sebagaimana yang telah kita uraikan di atas, juga akan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kebenaran, keadilan, dan kedisiplinan. Namun, kejujuran tidak akan datang begitu saja, tetapi harus diperjuangkan dengan sabar dan sungguh-sungguh. Ada seorang ulama yang menegaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membantu kita dalam mencoba meraih kejujuran: Pertama, akal yang wajib memandang buruk kedustaan apalagi jika kedustaan itu sama sekali tidak mendatangkan kemanfaatan dan tidak mencegah bahaya. Kedua, agama dan syariat yang memerintahkan untuk mengikuti kebenaran dan kejujuran serta memeringatkan bahaya kedustaan. Ketiga, kedewasaan diri kita yang menjadi salah satu faktor pencegah kedustaan dan kekuatan pendorong menuju kebenaran. Keempat, memeroleh kepercayaan dan penghargaan masyarakat. Ada sebuah kata mutiara: ”Jadikanlah kebenaran (al-haq) sebagai tempat kembalimu (rujukan), kejujuran (ash-shidq) sebagai tempat pemberangkatanmu (pijakan), sebab kebenaran adalah penolong paling kuat dan kejujuran adalah pendamping utama”. Karena itu, setiap pribadi muslim sejati pasti akan terus membangun kejujuran pada dirinya dalam melakukan semua aktivitas.